Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Nge-blog di www.ru-blog.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Nge-blog di www.ru-blog.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelanjangi Diri, Ikhtiar Mengikis Ego dan Narsisme

16 Februari 2015   21:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini berkembang kebiasaan mengagumi diri sendiri secara berlebihan dan merasa paling benar, paling pintar dan cerdas, paling gagah, paling baik, paling keren, paling alim dan paling sejenis lainnya. Kebiasaan ini tanpa disadari akan mengikis sikap menghargai dan memahami orang lain dan cenderung menuntut untuk selalu dihargai dan dimengerti.

Gejala yang paling mudah untuk mendeteksi kebiasaan seperti ini adalah sikap anti-kritik, atau sikap bertahan dengan melakukan pembenaran-pembenaran atas kebiasaan tersebut, atau jika dikritik maka akan melakukan kritik balik. Semisal, jika ia dikritik "kok akhir-akhir ini kamu tidak memiliki kepedulian?", maka ia akan membalas, "Memangnya kamu peduli?"

Sikap selalu merasa "paling" ini sering dikenal dengan istilah ego atau keakuan. Menurut Jeffrey Nevid (2005; 40-45), ego adalah struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri, diatur oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi frustasi. Ego diatur oleh prinsip realitas yang berkaitan dengan apa yang praktis dan mungkin, sebagai dorongan dari id. Ego terikat dalam proses berpikir sekunder -mengingat, merencanakan, dan menimbang situasi yang memungkinkan kompromi antara fantasi dari id dan realitas dunia luar. Ego meletakkan dasar untuk perkembangan yang disadari tentang perasaan diri sebagai individu yang berbeda.

Sigmund Freud mengatakan bahwa ego merupakan satu bagian dari aparatus psikis dalam model struktur jiwa, dua bagian lainnya id adalah himpunan tren insting tidak terkoordinasi, ego adalah bagian, terorganisir realistis, dan super-ego memainkan peran kritis dan moral. Dominasi ego, akan melahirkan mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan yang berpeluang lahir dari ego adalah menganggap orang lain atau pendapat lain sebagai pihak yang mengancam.

Ego seperti ini akan sangat berbahaya, jika beranggapan orang lain dan kelompok lain sebagai ancaman, karena akan selalu melahirkan ketegangan-ketegangan baru, sehinga menjadikan hubungan atau relasi kemanusiaan tidak berjalan normal, dan sikap untuk meniadakan dan memusnahkan adalah hal yang paling berbahaya dari sifat ego ini.

Ali Syariati mengategorikan ego sebagai penjara, selain . Bagi Syariati ego adalah penjara yang sangat berat untuk dihadapi manusia karena ia berada dalam diri manusia. Bangkit dari penjara yang ada dalam diri merupakan tugas yang sangat menantang, terutama sekali pada abad ilmu dan teknologi sekarang ini. Belum pernah sebelumnya manusia begitu lumpuh, lesu, dan tanpa harapan dalam penjara ini. Dalam penjara ego tentunya sangat jauh berbeda dengan penjara yang lain, karena manusia mengalami abdsurditas. Absurditas yang dirasakan manusia tidak lepas dari setelah pemenuhan segala hasrat, nalurinya. Pemenuhan instinsif manusia mengantarkan manusia pada kelupaan dimensi dalam diri yang paling sublim yakni realitas rohani.

Selain ego, belakangan juga berkembang sifat kagum terhadap diri sendiri, kagum atas sifat, sikap dan ucapan sendiri, bahkan kagum atas kecerdasan dan spritualitasnya, kekaguman terhadap sikap sendiri ini dalam bahasa agama disebut takabur, dan dalam pergaulan dikenal dengan istilah narsis. Narsis ini melahirkan perilaku selfie, spiritualitas narsis, intelektual narsis, dan narsis-narsis sejenis, yang intinya menghilangkan kekaguman dan kebanggaan terhadap yang lain kecuali kekaguman terhadap diri sendiri.

Narsisisme adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud (1914) dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis.

Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir, bahkan Andrew Morrison berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain. Narsisisme memiliki sebuah peranan yang sehat dalam artian membiasakan seseorang untuk berhenti bergantung pada standar dan prestasi orang lain demi membuat dirinya bahagia. Namun apabila jumlahnya berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian yang bersifat patologis.

Kelainan kepribadian atau bisa disebut juga penyimpangan kepribadian merupakan istilah umum untuk jenis penyakit mental seseorang, dimana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami situasi dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal. Kondisi itu membuat seseorang memiliki sifat yang menyebabkannya merasa dan berperilaku dengan cara-cara yang menyedihkan, membatasi kemampuannya untuk dapat berperan dalam suatu hubungan. Seseorang yang narsis biasanya memiliki rasa percaya diri yang sangat kuat, namun apabila narsisme yang dimilikinya sudah mengarah pada kelainan yang bersifat patologis, maka rasa percaya diri yang kuat tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk rasa percaya diri yang tidak sehat, karena hanya memandang dirinya sebagai yang paling hebat dari orang lain tanpa bisa menghargai orang lain.

Selain itu, seseorang dengan sifat narsis yang berlebihan memiliki kecenderungan untuk meninggikan dirinya di hadapan orang lain, menjaga harga dirinya dengan merendahkan orang lain saat orang lain memiliki kemampuan atau hal yang lebih baik darinya, bahkan tidak segan untuk mengasingkan orang lain untuk memperoleh kemanangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun