Hari Valentine telah berlalu sehari, cokelat itu masih utuh teronggok di atas tumpukan buku-buku. Seminggu yang lalu, sebelum tanggal empat belas Februari, aku sengaja telah mempersiapkannya untukmu. Ini adalah cokelat kali kedua yang khusus ku beli seperti tiga belas tahun yang lalu, cokelat yang spesial bahkan sangat spesial karena ku bungkus dengan penuh kasih sayang.
Memang aku tak terlalu yakin, kamu memiliki kasih sayang serupa dengan yang ku miliki, tapi aku yakin dengan kekuasaan Tuhan yang menguasai hatimu, untuk itu aku lebih sering meminta kepada-Nya agar kamu melabuhkan sayangmu ke aku, bukan hanya kasih karena kasihan melihatku yang selalu menghiba.
Namun, hingga senja berganti ke senja lagi, telah 24 jam berlalu, cokelat ini masih teronggok di sini, entah sampai kapan, mungkin hingga semut-semut menemukan dan menggerogotinya hingga habis, sama dengan hati yang teronggok sepi dan lama-lama rapuh dan mati rasa.
Dua hari yang lalu, engkau berjanji untuk bertemu, ku kabari bahwa aku punya hadiah cokelat untukmu, kamu tak membalas hingga sekarang, tak ada kabar.
Aku menduga kamu pasti sibuk, aktifitasmu padat setiap hari, menurutmu tak ada waktu yang boleh berlalu dengan tanpa manfaat.
"Kita memiliki waktu yang sedikit dan terbatas, padahal banyak kebaikan-kebaikan yang harus kita tunaikan." Katamu suatu ketika.
Senja sebentar lagi berlalu, tak ada tanda kita bisa bertemu hari ini. Ufuk membias kemerahan, awan hitam berarak semakin banyak, sepertinya sebentar lagi akan hujan, alam selalu mengerti cara melukiskan suasana hatiku.
Aku membiarkan diriku larut bersama senja, duduk terpaku di teras belakang dan memandang kosong ke hamparan sawah dengan padi yang menghijau, para petani tentu sangat senang jika hujan turun, padi-padi yang mereka tanam telah tumbuh dengan baik dan tak khawatir dengan air berlebih. Segerombolan burung terbang ke arah timur, bergegas seolah khawatir dengan hujan yang akan segera membasuh bumi.
Konon, hujan hadir untuk melepas rindu dengan tanah yang mengering, menyatukan rasa agar cinta tetap tumbuh subur dan bermakna bagi kehidupan. Namun, tanah telah banyak dirudapaksa, dihancurkan kehormatannya, hingga kadang tanah malu untuk menampung curahan cinta dan kasih hujan, tanah yang merasa tak lagi suci karena dinodai, menutup diri dan akhirnya hujan meluap tak tertampung, hujan marah dan mengamuk, menghancurkan apapun yang ditemuinya, memberi balas kepada yang telah memperkosa kekasihnya.
Aku ingin seperti hujan, melepas rindu dan menumpahkan cinta, melindungimu.
Namun, kamu bukan kekasihku, hanya sekedar untuk memberikan sebatang cokelat saja, di hari kasih sayang yang di rayakan banyak orang, aku tak mampu. Bagaimana mungkin aku bisa berbuat lebih.