Akhir November ini, akan menjadi pertaruhan penting Partai Golkar (PG), partai berlambang pohon beringin ini akan menentukan ketua umumnya untuk menjadi nakhoda partai hingga tahun 2019 nanti, dan tahun 2019 adalah puncak dari tahun transisi politik, di mana pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanan serentak.
Memilih pemimpin partai sebagai hajat partai, adalah fase yang sangat penting dan krusial, karena meminjam istilah Susan Scarrow dalam Implementing Intra-Party Democracy (2005), memilih pemimpin partai adalah hal yang  akan digunakan untuk mendefinisikan citra dan wacana politik, mau dibawa ke mana partai politik ini ke depan? Pemimpin partai politik adalah salah satu aspek produk partai yang penting yang akan menjadi perhatian publik.
Ada dua kelompok yang menarik untuk dicermati dalam pertarungan partai beringin ini menjelang perhelatan memilih pemimpin tersebut, pertama kelompok Abu Rizal Bakri (ARB) dan kedua kelompok  yang menginginkan regenerasi kepemimpinan di Golkar, kelompok ini dimotori oleh beberapa calon ketua umum yang bersepakat menyatu untuk melawan kelompok ARB, di antaranya adalah Agung Laksono, Agus Gumiwang Kartasasmita, MS Hidayat, Priyo Budi Santoso, Zainudin Amali, Hajriyanto Y. Thohari, dan Airlangga Hartanto.
Sebenarnya benih-benih perlawanan terhadap ARB tidaklah muncul tiba-tiba tetapi telah dimulai sejak penentuan calon pasangan presiden dan wakil presiden, saat itu posisi Golkar sudah terbelah tiga. Kelompok pertama adalah ARB dan para pendukungnya, yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kubu kedua adalah kader muda yang menolak keputusan ARB dan cenderung mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Sedangkan, kubu ketiga adalah para senior dan sesepuh yang juga menolak keputusan ARB dan ingin Golkar membentuk poros capres sendiri atau bersikap netral.
Konflik ini dipelihara hingga kini, bahkan dipupuk dengan kekalahan langkah ARB mengusung calon presiden dan berbagai kelemahan-kelemahan ARB lainnya yang dijadikan alasan kuat untuk penolakan ARB mencalonkan kembali sebagai ketua umum, bahkan kader Golkar Indra J. Piliang dengan tegas mengatakan bahwa dua kubu yang bertarung menjelang Musyawarah Nasional (Munas) adalah pertarungan dua kubu status quo versus non status quo.
Indra J. Piliang secara tersirat mengungkapkan penolakan terhadap pencalonan ARB, dengan menyindir dan melemparkan sinisme halus ke kubu ARB, bahwa hakikatnya Golkar surplus kepimimpinan tetapi selama ini mengalami bottle neck,ketersumbatan arus. Maka ia meniscayakan regenerasi kepemimpinan.
Namun, yang menarik dari konflik internal ini adalah bahwa siapapun pemenang akhir dari pertarungan ini akan berimplikasi pada perubahan politik secara umum, maupun implikasi khusus pada koalisi merah putih (KMP) di parlemen. Jika, pertarungan ini dimenangkan oleh kubu ARB, maka bukan mustahil akan ada pecahan-pecahan baru di tubuh Golkar serupa Hanura, Nasdem dan Gerindra, yang akhirnya menjadikan Golkar layaknya beringin-beringin kecil.
Begitupun sebaliknya, jika pertarungan itu dimenangkan oleh kubu yang kontra ARB, maka peta politik kemungkinan besar akan berubah, dan secara otomatis KMP bubar atau paling tidak ARB tidak lagi menjadi kordinator KMP, karena selama ini ARB lah yang menjadi sosok terdepan dalam koalisi permanen melawan koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Perjalanan Suram
Golkar pada dasarnya terbebani oleh peran-peran sejarah sepanjang Orde Baru berkuasa. Golkar dinilai adalah pelaku utama dan bertanggungjawab atas karut marut, krisis demi krisis berkepanjangan yang dialami bangsa ini, dan diakui atau tidak Golkar semasa Orde Baru berperan sebagai ‘alat stempel’ kekuasaan, yang menjadi penyumbang jasa terbesar kekuasaan status quo Soeharto selama 32 tahun.
Paska Orde Baru, bermunculannya partai-partai baru menjadi bukti kuat begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Golkar dalam kurun waktu yang begitu panjang, bahkan di internal partai banyak tokoh-tokoh Golkar yang justeru membentuk partai-partai baru sebagai cara melampiaskan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap Golkar. Golkar dinilai banyak kalangan mempraktekkan eklusifisme politik dan politik transaksional di setiap rekrutmen dan suksesi kepemimpinannya hampir di semua level, dari daerah hingga pusat.
Hal inilah yang menjadi pemicu utama tokoh-tokoh Golkar keluar dan mendirikan partai-partai baru. Menjelang Munas, akhir November, semua kader Golkar sedang bersiap mempertaruhkan dan menentukan masa depan partainya, semua kader memiliki kewajiban untuk menafsirkan perhatian (interest) publik terhadap Golkar, ini penting jika para elitnya masih merasa kehadiran dan eksistensi Golkar perlu dipertahankan, atau membiarkan Golkar terpecah menjadi beringin-beringin kecil.
Golkar sedang menghadapi ujian, apakah akan lulus melewatinya atau akan gagal? Pertimbangan matang dalam memilih ketua umum sepantasnya menjadi jawaban Golkar atas interest publik dan pertanyaan tersebut. Apakah akan menetapkan pilihan berada pada posisi status quo, atau melakukan perubahan. Bung Hatta mengingatkan, jika partai tidak menjalankan kaderisasi, maka anggota partai hanya akan menjadi pembebek keinginan pimpinannya dan kebiasaan membebek itu tiada memperkuat pergerakan. Bahkan, itu akan membunuh pergerakan. Kita tunggu saja, apakah beringin masih rimbun?
*Tulisan ini dimuat di Kolom Gagas Lampung Post, 3 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H