Pernikahan, bukan persoalan pesta mewah dan ramainya undangan yang hadir. Pernikahan adalah persoalan janji suci (aqad) untuk memegang teguh kesetiaan dan tanggungjawab. Pernikahan mensyaratkan rasa suka sama suka tanpa keterpaksaan akan melahirkan tanggungjawab sesuai porsi masing-masing sebagai suami dan istri.
Pernikahan bukan hanya karena urusan kebelet karena tak mampu menahan syahwat, pernikahan bukan hanya semata penyaluran libido seksual. Pernikahan adalah pernyataan jujur tentang kesanggupan untuk hidup bersama pasangan lahir dan bathin.
Di beberapa tempat, kita masih banyak menemukan pengantin baru yang paska pesta pernikahan kebingungan hendak melakukan apa-apa, padahal ia sebelumnya bertekad untuk siap mengarungi bahtera rumah tangga. Perahu rumah tangga telah siap, namun ia tak memiliki tujuan, jangankan layar dan kemudi, dayung untuk mendayung sejarak sesenti duasenti pun tak ada. Akhirnya, jadilah ia pasangan pengantin baru yang linglung.
Satu kasus lain, kita menemukan betapa banyak suami yang hanya pulang ke rumah dan menjadikan istrinya sebagai tempat pelampiasan gairah seksualnya, namun jika ia berlebihan uang, ia akan lebih senang mendatangi lokalisasi atau memelihara perempuan-perempuan simpanan.
Ketika pernikahan dimaknai sebagai "cara" untuk menjadikan semuanya halal, tanpa disertai tanggungjawab penuh, sehingga pada puncak syahwat tak terbendung dan uang tak ada, menjadi sah mendatangi pasangan dan meminta jatah. Bukankah akhirnya sikap seperti itu tak ada bedanya dengan memosisikan pasangan sebagai pelacur? Bukankah itu tak ada bedanya dengan perzinahan? Bahkan, bisa jadi lebih rendah posisinya dari praktek perzinahan, hanya dengan mahar seperangkat alat shalat dan sebuah mushaf al Quran, atau beberapa materi yang disesuaikan jumlahnya dengan tanggal, bulan dan tahun pernikahan, menjadi halal untuk menggarap perempuan kapan saja, dengan cara apa saja dan di mana saja, tanpa harus takut untuk tidak bertanggungjawab?
Menjelang dini hari tadi, saya dikejutkan dengan sebuah postingan seperti ini :
Pernikahan yang telah direduksi maknanya, lambat-laun hanya akan menjadi legalisasi perzinahan atas nama agama.
Pernikahan bukan hanya persoalan halal-haramnya kegiatan seksual antar pasangan, pernikahan adalah tanggungjawab lahir dan bathin, tanggungjawab untuk saling merawat kesetiaan, menjaga komitmen, saling melengkapi dan mengingatkan.
Durasi berhubungan badan dengan pasangan, jika diprosentasekan, tidak akan pernah mencapai angka 10% dari total durasi hidup suami-istri, sehebat dan sekuat apapun ia dalam berhubungan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H