[caption id="attachment_400356" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi/kompasiana(kompas.com)"][/caption]
Anak panah yang lepas dari busur tepat mengenai dada sebelah kiri senja, bergeliat perih kemudian gelap membisu. Linangan air mata yang tak sempat mengalir, menggumpal, kemudian membeku membentuk kristal. Senja berpulang ke pangkuan gelap, burung hantu bersorak dan iblis berpesta pora merayakan pesta kematian.
“Pergilah, tempat ini tak lagi aman dan nyaman buatmu!” Mada menghela nafas berat. Meminta Victory untuk berlalu dari hadapannya.
Victory gadis yang dicintainya itupun segera beranjak pergi tanpa menoleh, tinggallah Mada mengonggok di atas batu hitam di bawah pohon besar yang menyerupai raksasa. Dua ekor ular besar mendekatinya, namun Mada tak bergeming hingga ular itu mematuk lengan kanannya. Tak ada reaksi.
Mada baru menyadari tubuhnya telah berpindah tempat, dalam sebuah ruangan sempit berwarna serba putih. Mada menggerak-gerakkan tubuhnya, ada rasa nyeri dan ngilu di pangkal lengannya, ia melihat ada beberapa selang yang tersambung ke lengan dan mulutnya. Ia menyebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tak ada siapapun, hanya sebuah jam dinding menempel ditembok, lurus searah kakinya, jarum jam itu telah menunjuk angka 02.05.
Mada berusaha untuk bangkit, tapi rasa nyeri dan ngilu di pangkal lengan kanannya membuatnya mengurungkan niat, ia juga tak kuasa berteriak, dadanya serasa sesak.
Mada, akhirnya memilih memejamkan mata. Ia terbangun, ketika sebuah tangan menyentuh bahunya, ia melihat samar-samar dua sosok yang mengenakan pakaian serba putih berdiri di dekatnya, tiba-tiba ia merasakan ketakutan luar biasa, ia gugup dan berusaha untuk meronta, tapi tak ada daya, ia pasrah ketika salah seorang dari sosok itu menusukkan sebuah jarum di selang yang dihubungkan ke tangannya, ia merasakan sakit hingga ke ulu hatinya.
Batin Mada berkecamuk, ia berpikir sedang berada di alam kubur dan dua sosok yang ada di hadapannya adalah wujud Munkar dan Nakir yang akan menginterogasi dosa-dosanya, kemudian menyiksanya. Ia kembali memejamkan mata, seolah tak mau melihat dua sosok itu.
“Tenanglah, kami perawat di Rumah Sakit ini, kami akan bantu mas untuk segera pulih.” Kata salah seorang yang mengaku perawat itu.
Mada yang memejamkan matanya, seolah mendengar suara lembut Victory, gadis yang selalu memberinya semangat dan energi untuk bertahan hidup.
Mada tetap membiarkan matanya terpejam, ia menikmati alunan lembut suara perempuan yang ia anggap adalah Victory, dari perempuan itulah ia tahu bahwa setelah teronggok di atas batu hitam di bawah pohon besar di tengah kebun yang sepi itu, ia pingsan setelah dua ular yang menghampirnya meninggalkan dua gigitan di lengan kanannya, kemudian dua penduduk desa menolong dan mengantarnya ke rumah sakit itu.
Sebelum dua perempuan perawat itu berlalu pergi, Mada merasakan sebuah rabaan lembut di tangannya persis seperti rabaan Victory setiap kali menyentuh punggung telapak tangannya.
Mada kembali teringat gadis pujaannya itu, gadis yang hampir telah mengambil seluruh harapan hidupnya, gadis yang dengan telah sepenuh tenaga berusaha ia lupakan, namun tak pernah berhasil.
Mada pertama kali bertemu Victory di teras sebuah Masjid termegah di Kota ini, dalam sebuah diskusi rutin antar iman. Victory adalah gadis keturunan Tionghoa beragama Katolik, sedangkan Mada seorang pribumi yang lahir dari keluarga muslim yang taat, dan mereka terlanjur jatuh cinta.
Mada sangat menghormati Victory yang selalu mengingatkannya untuk salat berjamaah, dan dengan setia akan menunggunya hingga selesai. Tak sedikit waktu telah mereka lewati bersama, mempraktekkan toleransi dan saling menghargai keyakinan, meski sesekali mereka terlihat berdiskusi serius tentang perjalanan akhir hubungan mereka yang tak mendapat restu keluarga.
Meskipun mereka saling mencintai, namun, tak pernah meletakkan kepentingan cinta mereka di atas kepentingan keyakinan yang dianut. Mereka meyakini, justeru karena perbedaanlah, termasuk perbedaan keyakinan mereka dipertemukan dan saling tertarik.
Mada menghela nafas panjang, mengingat pertemuan terakhir yang telah mereka sepakati, di sebuah senja yang sama sekali tak bersahabat, senja yang diselimuti awan tebal yang menghalangi cahaya lembut mentari. Pertemuan terakhir yang tragis, pertemuan yang akhirnya mengubur toleransi dan cinta yang telah lama mereka rawat.
Senja itu, hanya memberi mereka dua pilihan tetap bersama atau meninggalkan salah satu keyakinan mereka, dan pilihannya mereka bersepakat untuk memilih perih, memangkas asa dan mematikan rasa. Mereka memilih untuk menjadi masing-masing asing, seolah tak pernah mengenal. Victori pergi meninggalkan Mada yang akhirnya teronggok tak sadarkan diri, hingga ia berada dalam ruangan kecil yang serba putih, ruangan rumah sakit.
Telah dua hari Mada terbaring di ruangan rumah sakit, dan ia sama sekali tidak tertarik untuk membuka matanya, ia memiliki satu keinginan menghadirkan bayang-bayang Victory dalam setiap detik ingatannya. Meski, selang infus dan oksigen telah dilepas dari lengan dan mulutnya, ia tetap terpejam dan tak mempedulikan telah banyak orang berganti hilir mudik di ruangan itu.
“Nak, bukalah matamu. Sore ini kita akan pulang ke rumah!” Seorang ibu dengan lembut mengusap-usap lembut rambutnya.
“Victory...Di sini gelap, genggamlah tanganku. Tak akan ada yang mengusik kita, setiap akhir pekan aku akan mengantarmu ke Geraja, sebagaimana engkau selalu setia menemaniku ke Masjid.” Desis Mada.
“Nak, bukalah matamu, di sini tidak gelap, di sini terang, saudara-saudaramu sedang berkumpul,” Ibunya mulai tak kuasa membendung air mata yang menetes ke kening Mada.
“Victory, kenapa menangis? Bukankah di sini kita hanya berdua, dalam ingatanku dan ingatanmu. Dalam gelap, dimana cinta yang tulus dibiarkan tumbuh subur dan melahirkan benih cinta yang mendamaikan dunia.” Suara Mada lirih.
***
Ketika senja, di bawah pohon besar, di atas batu hitam seorang lelaki tua duduk terpejam. Tak ada satupun yang mempedulikannya, orang-orang di sekitarnya menganggap lelaki tua itu telah gila, karena tak bisa bertemu lagi dengan kekasihnya, setelah keduanya gagal mendapatkan restu keluarga karena berbeda keyakinan dan tradisi.
“Victory... jika mereka menganggap setia itu gila, maka aku akan memilih gila ini selamanya. Jika mencintaimu dengan tulus itu adalah ketidakwarasan, maka aku akan memeluk erat ketidakwarasan ini.” Lelaki tua itu bicara sendiri.
Hujan turun dengan deras, dan senja menjadi gelap. Lelaki tua itu membiarkan tubuhnya yang tak terawat diguyur hujan. Angin bertiup sangat kencang, membuat pohon-pohon di sekitar tempat duduk lelaki tua itu meliuk-liuk seperti mau tumbang, ia tak bergeming dan tak takut batang-batang pohon itu jatuh dan menimpa tubuhnya.
Pecel Lele Bung Karno, Awal Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H