Kalau dikaitkan dengan hasil penelitian dari Kimberly Noble, profesor di sekolah kedokteran Columbia University, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa anak yang lebih miskin cenderung mendapat nilai lebih buruk dalam ujian kognitif.Â
Kesenjangan itu dalam analisis statistiknya berhubungan dengan dimensi otak. Tetapi peneliti sendiri berkesimpulan bahwa hubungan antara otak anak dan pendapatan orang tuanya tidak sungguh-sungguh kokoh.Â
Sebab dari data statistik yang mereka miliki bahwa ada banyak anak miskin yang memiliki otak relatif lebih besar dan sebaliknya ada banyak pula anak kaya yang memiliki otak relatif lebih kecil. Bagi pakiah, meskipun banyak berasal dari keluarga miskin tetapi dengan sentuhan motivasi dan barakaik (berkah) dari guru berdasarkan kaji dan ilmu yang diajarkan bisa mengantarkan pakiah menjadi alim, cerdas dan paham dengan berbagai ilmu agama dan kemasyarakatan.Â
Ada yang menyebutkan bahwa pakiah sekarang sudah berbeda juga dengan pakiah dulu. Dilihat dari input yang belajar agama di surau atau pesantren sekarang tidak lagi semuanya berasal dari keluarga kurang mampu, sudah banyak juga pakiah (santri pesantren tradisional sekarang ) di padang pariaman tidak lagi mamakiah, bahkan ada juga beberapa pesantren yang membatasi meskipun tidak melarang secara tegas para pakiah untuk mamakiah pada setiap kamis dan jumat.Â
Aktifitas pakiah itu sendiri sangat padat, karena juga mengikuti belajar umum bahkan ada yang bersekolah umum di luar pondok seperti di SMA. Paginya mereka sudah pergi belajar di SMA dan mengikuti aktifitas proses belajarnya dari pagi sampai siang atau sore kemudian kembali ke pondok karena menginap di pesantren dan mengajinya pada malam hari, sehingga mereka tidak punya waktu untuk pergi mamakiah pada hari kamis dan jumat disebabkan mereka harus belajar di sekolah.Â
Meskipun demikian, pakiah itu banyak dibantu oleh masyarakat dan pada akhirnya mendorong mereka kembali ke masyarakat untuk mengabdi. Selama belajar di surau (pesantren) mereka hidup secara mandiri, tinggal di surau, memasak sendiri, mencuci sendiri dan banyak di antara mereka membiayai diri sendiri. Jujur disampaikan bahwa kebanyakan dari mereka adalah berasal dari keluarga kurang mampu. Dulunya mereka adalah yang tidak sekolah umum, karena keterbatasan biaya. Sehingga mereka dibawa dan diajak oleh ungku atau buya untuk mengaji dan belajar di surau.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, mereka pergi mengunjungi rumah-rumah warga untuk mengajak warga untuk berinfak dan bersedekah membantu membiayai hidup mereka.Â
Proses seperti ini menumbuhkan sebuah nilai dan rasa bahwa mereka dalam mengaji dibantu oleh orang banyak, karena adanya perhatian masyarakat terhadap mereka dan pendidikan mereka. Setelah mereka tamat atau menyelesaikan pelajarannya atau studinya di surau (pesantren), mereka kembali berbakti dan mengabdi kepada masyarakatnya atau ummat.
Hal yang berbeda jika dilihat dari lulusan lembaga pendidikan lain, yang biaya pendidikannya dibiayai oleh keluarganya secara mandiri cenderung setelah mereka menyelesaikan studinya, ilmu yang mereka peroleh lebih cenderung untuk mereka saja.Â
Bahkan sampai  dibuatkan program sarjana kembali ke masyarakat. Rendahnya keinginan mereka untuk mengabdi ke masyarakat, karena dia merasa bahwa ilmu yang mereka dapat adalah dimodali oleh dirinya sendiri atau keluarganya. Sehingga sebagian dari mereka lebih memilih banyak berdiam diri di rumah sambil menunggu informasi penerimaan lowongan kerja.
Masyarakat yang sudah berinvestasi kepada pakiah untuk membiayai hidupnya pada masa studinya di surau, akan membentuk rasa kepedulian pada diri pakiah untuk bisa kembali untuk mengabdikan diri ke masyarakat, Tinggal di surau, mengajar anak mengaji, kadang sambil mengajar mengaji menambah pengetahuan mereka dengan kuliah di perguruan tinggi.