Sebagai seorang jomblo, setiap malam minggu saya pasti tidur larut malam. Dan seperti biasa, sebelum tidur, dan bakal bangun siang, saya melihat posting populer di lini massa di facebook saya.Salah satu posting yang cukup populer adalah ajakan Hendri Teja kepada facebooker untuk mendukung Judicial Review (JC) UU Pilkada.
Hendri Teja: “Pintu memang tertutup, tapi masih ada jendela yang terbuka. Perjuangan belum sampai di garis finish, kawan-kawan. Mari berpadu bersama ke MK. Kita lanjutkan pergulatan ini dengan Judicial Review UU Pilkada”
Sebagai pemanis dalam postingnya dia menyematkan gambar ajakanJC UU Pilkada versi KONTRAS, yang belakangan ini marak di twitter.
Yang membuat hati saya tergelitik adalah, pada bagian bawah posting komentar ada komentar dari Rafdinal Nursal dan Hendri Teja. Keduanya dalam bahasa minangkabau, jadi saya Indonesia-kan saja. Bahasa aslinya bisa lihat di gambar capture saya.
Rafdinal Nursal “ini bantuannya tim sukses yang kehilangan objekan.”
Hendri Teja pun menjawab dengan gaya berkelakar “he he he masak buya Rafdinal Nursal berprasangka buruk seperti itu? Berbeda itu biasa kan Pak?”
Astaga, jadi vonis sebagai tim sukses yang kehilangan objekan ini dilancarkan oleh seorang ulama? Penasaran saya masuk ke akun Rafdinal Nursal, dan saya baru paham kenapa dia berkomentar demikian. Ternyata Rafdinal Nursal adalah anggota DPRD Sumbar dari PKS.
Jadi anggota DPRD Sumbar yang menurut UU Pilkada nanti akan dikasih amanat untuk memilih Gubernur Sumbar penganti Irwan Prayitno ini seenak udelnya memvonis kalangan pendukung JC UU Pilkada sebagai tim sukses Jokowi-JK yang sudah kehilangan objekan, kehilangan mata pencaharian. Artinya, sama saja dia menuduh bahwa saya dan para sahabat lain yang kemarin jadi relawan Jokowi-JK sebagai orang bayaran. Saya benar-benar tidak habis pikir, mengingat statusnya sebagai anggota DPRD dari partai yang menggembor-gemborkan nilai-nilai Islami.
Saya tidak berani menegaskan semuanya, tapi yang jelas kemarin saya dan teman-teman membantu duet Jokowi-JK murni full karena ingin ada perubahan di Indonesia. Pulsa dan quota internet kami sudah habis-habisan, dan kami sama sekali tidak menerima bayaran apa-apa dari tim resmi Jokowi-JK. Karena yang namanya relawan, yang harus rela toh?
Kendati jengkel dengan saya kemudian membalas dengan nada berkelakar juga “Jiah! Pak Rafdinal Nursal anggota DPRD Sumbar, yang terhormat, gampang nian memvonis. Dari mana Bapak tahu sungkahnya si Hendri Teja ko? Atau jangan2 bapak paranormal ya.” Sayangnya sampai sekarang belum ada balasan dari yang bersangkutan.
Saya tahu bahasa di sosial media sangat berbeda dengan bahasa di keseharian. Tetapi, tetap saja ada etikanya. Memvonis, menghujat tidaklah etis. Justru perdebatan dan adu argumen cantik yang kita cari. Sayangnya hal ini sepertinya tidak disadari oleh Rafdinal Nursal. Barangkali dia beranggapan perbedaan bukan sebagai rahmat, tetapi lawan yang harus dihancurkan, dikuliti. Kalau begini ya berabe.
Tetapi setidaknya, hikmah yang saya dapat kemudian adalah semakin teguhnya keyakinan bahwa pilkada langsung adalah metode yang terbaik saat ini. Saya tidak mungkin menitipkan suara saya kepada seseorang seperti Rafdinal Nursal, yang langsung memvonis hanya karena kita berada di sisi yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H