Medio 2014, saya mencari jejak batu nisan bekas kerajaan lamuri di Krueng Raya, Aceh Besar. Perjalanan yang tidak mudah karena harus bersusah payah menembus semak belukar dengan jalan bebatuan. Sesampainya di lokasi bekas kerajaan yang sangat masyhur pada masa dulu itu, kami hanya menemukan beberapa gundukan batu tidak beraturan. Selebihnya hanya semak dan kandang kambing warga.
Kecewa? iya. jauh-jauh datang tapi tidak sesuai antara ekspektasi dan realita. Upaya kami untuk melihat bekas kerajaan berikut dengan nisan-nisannya harus dibawa terbang angin.
Tidak berapa lama, keinginan kami untuk melihat batu nisan terobati dengan adanya pameran batu nisan yang diadakan oleh Mapesa (Masyarakat Aceh Peduli Sejarah) kerjasama dengan BPNB. Dari hasil penelusuran selama pameran, setidaknya saya mencatat ada lima hal penting yang harus kita ketahui tentang batu nisan Aceh :
1. Setiap Periode Berbeda Model dan Ukirannya
Ada 3 tipologi batu yang dipamerkan selama berlangsungnya acara yaitu tipologi batu nisan Samudra Pasai, Lamuri dan Aceh Darussalam. Ketiga tipologi ini berbeda dari segi bentuk, bahan dasar dan motif ukirannya.
Dari tiga jenis batu yang dipamerkan, saya paling suka dengan batu nisan kerajaan Samudera Pasai karena mempunyai ukiran dan bentuk yang sangat cantik dibandingkan lainnya. Nisan dari kerajaan Islam pertama di Aceh ini juga mempunyai tingkat ketahanan yang sangat tinggi karena berasal dari batu sungai (bate krueng).
Nisan dari kerajaan Lamuri bisa ditandai dengan bentuknya yang mirip pagoda serta berasal dari bahan dasar batu karang. Jadi ketika melihat dan memegangnya kita bisa langsung tahu dari mana asal nisan tersebut.
2. Selalu Ada Pesan Pada Sebuah Nisan
Ukiran pada setiap nisan selalu mengandung pesan kebaikan. Misalnya pada makam Malikah Nahrasiyah yang dipahatkan secara lengkap surah yasin yang ada dalam Al-Qur’an. Pemahatan surah ini bisa berarti suatu kondisi yang baik yang dilalui Sumatra di zaman pemerintahan sang sultanah.
Ada sebuah nisan yang membuat saya lama terpaku membaca maknanya, hingga mengulangnya beberapa kali. Pesannya seperti ini “Ketahuilah, dunia ini fana, tiada bagi dunia suatu kekekalan. Dunia hanya ibarat sarang yang dirajut laba-laba. Dan cukuplah bagimu daripada dunia, wahai orang yang mencarinya, sekadar apa yang dapat mengenyangkanmu. Betapa umur itu sangat singkat, dan semua yang di dalamnya akan mati.”
Pesan tersebut diukir pada makam Sultan Ma’ruf Syah (wafat 917 H/1511 M) yang ditemukan di Gampong Dayah Tanoh Kibeut, Kec. Pidie, Kab Pidie. Sebuah pesan yang sangat menyentil bagi hamba pengejar dunia. Semoga Allah mengampuni dan merahmati beliau.