Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bertopeng Bantu Buang Barang Bekas Ikhlas

3 Desember 2022   07:34 Diperbarui: 3 Desember 2022   07:35 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang Teman yang usianya lebih matang, meminta saya untuk menulis tentang ikhlas. Berikut ini jawaban saya kepada beliau.

Dalam banyak literatur atau tulisan yang mengungkapkan istilah ikhlas dalam kata maupun perbuatannya sangat banyak arti, makna yang didapatkan. Namun tetap terasa kurang memuaskan, hingga masih menjadi topik yang terus perlu diperhatikan.

Ikhlas adalah kata yang mudah diucap, sulit dilaksanakan. Sementara artinya yang banyak disepakati mengandung makna "tidak tercampur", jernih dan lain sebagainya. Dari pengertian umum ini timbul pengertian yang beragam menurut pemahaman dari orang-orang dalam menafsirkannya.

Ada yang berdalih, "Jalani saja tanpa ngeluh", mungkin, gak?

Ada yang bilang, " Seperti tangan kiri yang tidak mengetahui amal mitranya. Masa, sih?

Bahkan ada yang asal jeplak, "Anggap saja seperti buang air/kotoran", apa iya ikhlas disandingkan dengan perumpamaan seperti itu? Apa ikhlas seperti membuang penyakit, atau hal yang tidak kita butuhkan?

Menjawab tantangan ini sepertinya membawa saya untuk berpikir balik, mungkin ini dimaksudkan agar saya yang harus ikhlas atas sesuatu yang dimaksudkan Pakdhe. Jika begini adanya saya gak tahu sampai beliau memberi tahu maksudnya.

 

Di atas sudah tertulis, sebagaimana kita ketahui bahwa kata ikhlas begitu mudah diucap namun sulit dilakukan. Mmhh... terbersit sekilas, ikhlas hanya bisa ada, hadir, dan benar-benar sebuah perbuatan yang memiliki suatu kondisi tertentu yang teramat kecil kemungkinannya.

 

Kita gampang bilang ikhlas saat senang, saat ada kelebihan, ketika punya kesempatan untuk menolong, berkorban, dan kesempatan itu bisa kita manfaatkan. Coba kita balik ...

Bisakah ikhlas ketika sedang kekurangan, saat duka? Bisa gak kita ikhlas ketika kesempatan menolong dan berkorban tidak kita miliki?

Okelah kita masuk ke contoh perbuatan, ketika ada uang lebih dan ada kesempatan untuk berbuat ikhlas. Yakin gak, kita saat itu kita ikhlas sebenar-benarnya ikhlas? Lalu ada kesempatan dan memungkinkan, kita butuh uang lalu ada kesempatan untuk ikhlas?

Seperti ketika hendak beli obat untuk orang tua sendiri di tengah jalan ada orang yang membutuhkan pertolongan, semisal butuh sepotong roti atau makanan yang hanya bisa kita beli dengan uang berobat, kemudian kita lakukan, apakah terpaksa atau ikhlas?

Bisa jadi banyak kisah yang menceritakan sebuah gambaran untuk menjelaskan makna ikhlas. Untuk itu saya malah teringat kisah Bilal bin Rabah, Muazin pertama. Menurut banyak cerita yang memungkinkan kebenarannya tidak bisa dipungkiri, Bilal ketika dalam penderitaannya kerap menyebut kata "ahad".

 

Saya sependapat kata ahad yang terdapat di surat Al-Ikhlas ada relevansinya. Seperti demikian juga ikhlas sering diungkapkan seperti surah itu, dimana ikhlas tidak disebut dalam isi surat sebagaimana penamaan surat lainnya dalam Al Qur'an .

Yang ingin saya katakan selanjutnya adalah, "Penderitaan", sepertinya lekat dengan perbuatan ikhlas. Kita akan menemukan banyak cerita orang-orang yang dikatakan ikhlas sering terjadi pada orang yang dianggap menderita.

Kita menyaksikan para penolong adalah orang yang mau menderita, bersusah-payah demi keselamatan orang lain. Kita lihat orang ikhlas tampak dari kemudian harinya, apa ia  riya', atau tetap tiada berbekas.

 

Ikhlas terkait dengan penderitaan. Saat orang melihat kita menderita, apakah kita tidak ada peluang untuk menolong?  

Menolong adalah melepas sebagian haknya untuk menjadi bukan haknya. Dalam keadaan apapun, sendiri, bersama, dipinta maupun atas kesadarannya.

 

Sejatinya ikhlas hanya bisa di nilai oleh Pencipta ikhlas, kita hanya berusaha mendekati keikhlasan. Melakukan hal yang mesti kita lupakan. Seperti Bilal, termuliakan atas pertolongan yang kemudian tidak lupa atas apa yang ia pegang teguh.

Dalam membantu orang yang membutuhkan pertolongan materi misalnya, apa kita memilih, memilah barang yang akan kita berikan? Apakah yang terbaik, terbagus yang kita punya, atau malah kita bersembunyi dibalik layak pakai, yang sebenarnya tidak kita kehendaki lagi untuk memakainya?

 

Bilal bin Rabah menjadi bendahara di Baitul mal pada masa Rasulullah Muhammad Salallahu alaihi wasallam yang membuktikan dirinya sebagai seorang yang jujur dan bisa dipercaya. Saat itu bisa disetarakan sebagai Bendahara Pemerintah Kota.

Saat masih menyandang budak, ia dalam keadaan menderita.  Dan "ahad" dipegangnya dengan kuat. Saat sudah merdeka, mulia, berada di posisi "basah" tidak hanya Ahad, namun kejujuran hingga bisa dipercaya. Kita bisa mengatakan menolong tapi apakah kita jujur menolong?

 

Ikhlas hanya judul, isinya ahad. Bukan lain judul lain pula isi, seperti tulisan yang anda baca ini. Mudah-mudahan bisa dimaklumi.

Mohon maaf atas kekurangan. Wassalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun