Ada kalanya kita perlu menjaga jarak dari “sur-realism” agar tidak canggung saat berurusan dengan yang real, realisme, saat sekarang, yang terbukti “Tidak ada keindahan/kenikmatan”.
Seperti halnya otak dan jiwa, aksara pun bernyawa, yang terbaca dengan yang terbayang bisa saja berbeda. Anda menulis serius, tapi yang baca bisa tertawa, bisa sedih, bahkan bisa mempengaruhi otak dan jiwa pembacanya. Dan pada mimesis, kenikmatan bertuhan mampu menambah keyakinan keberadaan-Nya yang tidak bisa dinikmati oleh semua manusia yang tidak diberikan anugrah tertentu. Seperti ungkapan, “Hanya wali yang tahu kewalian”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H