Kearifan yang selama ini dituangkan dalam tulisan bisa saja hanya sempat bersemayam di dalam kepala saja. Belum sempat merasuk dan meresap ke dalam substansi kemanusiaan.
Bisa saja manusia menghabiskan waktu dengan bacaan atau buku-buku agama/spritual dan mempelajari karya-karya hebat bahkan tampak menganggap telah menyingkap rahasia Tuhan tentang surga dan neraka.
 Namun tetap saja selama pengetahuan itu belum menyatu dengan sifat dasarnya sebagai manusia, kemudian mampu mengubah dirinya,  maka pengetahuan tersebut sama sekali tidak membuahkan hasil.
Kita patut menduga bahwa seseorang dengan iman sederhana yang berdo'a kepada Tuhan hanya dengan sedikit pemahaman namun dengan sepenuh hati justru akan memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang orang yang cerdik pandai, yang sudah mempelajari spiritualitas tapi mempunyai hati yang hampa.Â
Hari yang sibuk dengan urusan yang tidak mengarah pendekatan pada Allah jelas menimbulkan suatu perasaan kosong yang tidak menenangkan, gelisah, dan penuh ketidakpuasan. Maka perlu bahasa untuk mewakili keadaan demikian, yang pada gilirannya bisa saja disebut syatata-syaitan.
Syaitan adalah hal-hal yang menghambat, menghalangi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Saat kita lupa, bisa jadi karena akibat syaitan, tapi jika terlena dari tidak melakukan pendekatan diri, maka itu sudah menjadi bagian dari diri kita.
Ketika syaitan, Â iblis ( Ablasa = Putus asa ) dengan segala tipu daya dan bisikannya terbelenggu dan atau telah dapat dikalahkan, maka yang patut diwaspadai setelahnya adalah sesuatu yang nilai esensinya lebih berbahaya, yaitu nafsu.
An-Nafs biasa dipahami sebagai ruh setelah bersatu/campur dengan jasad ( Qs; asSyam[91]:7-8 ), yang menyebabkan lahirnya kebutuhan dan keinginan yang sesaat, temporer dan atau kekal. Inilah tempat persembunyian berbagai penyakit yang mengikuti langkah/bisikan syetan. Jika tidak dikendalikan, penyakit ini berupa sifat-sifat yang merugikan diri dan atau orang lain.
Jangan mengira nafsu ini tidak diketahui padahal pelakunya sadar dan mengakui ( Qs alQiyamah:14 ) dan jangan menyalahkan orang/pihak lain sekalipun syetan, salahkanlah diri sendiri ( Qs.Ibrahim:22 ).
Kita tidak hanya diajarkan untuk meminta perlindungan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk, tapi juga diperintahkan untuk memohon ampun atas lupa dan kesalahan.
Dari banyaknya hal yang merugikan/mencelakakan, setidaknya meliputi kekikiran, bangga diri dan menuruti hawa nafsu. Sementara hal yang menyelamatkan adalah taqwa dalam keadaan sembunyi maupun terang- terangan, sederhana dan  benar dalam keadaan apapun.