adikku yang aku ketahui sudah mengajar di sekolah yang dahulunya merupakan pesantren. Hampir lima tahun sudah di sana dan sekarang mengajar siswa Tsanawiyah kelas dua yang juga sebagai wali kelasnya. Pesan-pesan itu aku dapatkan dari dua grup berbeda di sebuah aplikasi pesan.
Pertengahan bulan September lalu aku mengirim pesan kePesan yang aku kirim berupa tiga data PDF sekaligus. Yang pertama isinya perihal Formasi PPPK tahun 2022, yang kedua tentang Seleksi Guru ASN PPPK tahun 2022 Mekanisme-Juknis PPPK, Â dan yang ketiga tentang Informasi Verifikasi dan Validasi Administrasi Bagi Guru Yang Belum Lulus Uji Tulis Nasional ( UTN ) atau Uji Kompetensi PLPG.Â
Dua centang biru terlihat, aku tidak menunggu jawaban karena ada dua data PDF lagi yang akan aku kirim. Pertama, Surat Edaran Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentang kualifikasi dan sertifikat pendidik dalam pendaftaran pengadaan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Dan yang kedua dari BKN, tapi tertunda dan tidak jadi aku kirim. Aku dikejutkan dengan balasan yang masuk.
"Aku Kemenag bukan Kemendikbud", begitu balasannya. Mak-deg! Langsung aku searching dan aku dapatkan jawabannya. Ternyata aku alpa dengan perkembangan dunia pendidikan. Yang aku tahu, adikku adalah guru, tenaga pendidik yang mengajar sejak pra Covid -19. Sudah dipanggil ibu guru sejak belum adanya istilah sekolah daring.
Adikku Sarjana Pendidikan lulusan tahun 2016, di mana dunia digital sudah menjadi sarapannya. Dia sudah berani mengadakan les privat di rumah dengan bantuan proyektor, hingga ketika tranformasi  ruang belajar terjadi, tidak aku pernah dengar barang sekalipun ia mengeluh. Adikku tidak mengalami istilah Enforced digital disruption atau gangguan digital yang dipaksakan.
Tranformasi pembelajaran memang memaksa para guru untuk "melek digital". Apapun  bidang keilmuannya, guru diharuskan melengkapi kemampuannya bermain word, pptx, power poin, dipaksakan menggunakan aplikasi-aplikasi tatap muka jarak jauh. Tangannya dipaksa lincah, selincah bicaranya, ekspresi wajah, gestur tubuh diharuskan selaras dengan jalan pikirannya. Guru dituntut bisa seperti para bisnisman dan presenter TV, reporter, bahkan menjadi motivator ulung.
Adikku kini satu ruangan dengan guru-guru yang mengajarnya dulu. Adik ragilku itu masih termasuk anak millenial yang akrab dengan game online, aplikasi-aplikasi jejaring sosial. Dunia digital dan virtualisasi sudah mengiringi pertumbuhan hidupnya. Dia tidak seperti guru-guru seniornya yang tertatih menyesuaikan diri terhadap "revolusi pendidikan" yang men-digital. Tidak jarang gurunya "berguru" padanya dengan tersipu-sipu.
Murid-murid adikku tidak jauh berbeda dengan dirinya yang lebih akrab dengan gadgetnya ketimbang buku-buku. Lebih banyak berinteraksi dengan seseakun daripada orang di hadapannya.Â
Namun sebagai figur yang jadi panutan untuk ditiru, adikku harus bisa mempertegas perbedaan. Bisa jadi kemampuan searching dan mengakses informasi berimbang, karena begitu mudah dan masifnya penyebaran informasi. Tapi kemampuan tranfer ilmu pengetahuan menjadikan ia didengar dan dituruti.
Kemampuan membaca tentu berbeda dengan kemampuan memahami apa yang dibaca. Kemampuan analitis berbeda dengan kemampuan membangkitkan daya analisis. Dan kemampuan mentranfer ilmu dengan media tulisan menuntut guru untuk menguatkan kapasitas keilmuan dengan cara-cara, tehnik, metode pengajarannya di era pasca tatap muka.
Adikku saat ini tidak mempermasalahkan statusnya. Perjalanannya masih jauh dari beberapa guru seniornya di Mts. Masih jauh dari para pengabdi lainnya yang terus bersembunyi dibalik istilah kesabaran, keikhlasan menunggu surat sakti dari negara, bertahan sambil mengasah, menambah kemampuan agar tetap menjadi guru di tiap perubahan jaman. Menjadi guru itu yang paling utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H