Mohon tunggu...
rahmat qaedy
rahmat qaedy Mohon Tunggu... Lainnya - Kementerian Dalam Negeri

Geopolitik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ancaman dari Utara Indonesia

20 Mei 2024   11:37 Diperbarui: 28 Mei 2024   18:29 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.chinausfocus.com/peace-security/the-nine-dash-line-and-its-basis-in-international-law

Laut Natuna merupakan salah satu laut paling ramai di dunia dalam sehari bisa lebih dari 1000 kapal asing yang singgah atau melintas di sekitar laut yang masuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau ini. Karena hal tersebut laut natuna merupakan lahan yang "seksi" dalam perebutan pengaruh ekonomi dunia. Sebagaimana yang kita tahu dalam 10 tahun terakhir Tiongkok sebagai Negara yang mulai menjadi pusat ekonomi dunia justru menjadi ancaman baru bagi negara adidaya yang telah menjadi raja ekonomi dunia pasca perang dunia ke-2 yaitu Amerika Serikat (AS).

Semakin kuatnya ekonomi Tiaongkok dan sejalan juga dengan majunya teknologi serta meningkatnya kekuatan militer dan pengaruh cina di kawasan Asia bahkan dunia, Tiongkok semakin berani mempromosikan apa yang mereka sebut sebagai Nine Dash Line yang menjorok masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan beberapa Negara Asia Tenggara lainnya.

Memanasnya Perang antara Rusia melawan Ukraina dan ikut campurnya Iran dalam konflik Israel dan Palestina di timur tengah akan berdampak pada kondisi geopolitik di wilayah Asia Tenggara. Mungkin banyak yang berasumsi bahwa konfik diatas berada ribuan kilometer dari wilayah Laut Natuna sehingga tidak mungkin ada pengaruhnya, padahal dua konflik diatas bisa menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk mempertegas Nine Dash Line yang selama ini mejadi huru-hara di wilayah Laut Cina Selatan. Sibuknya AS maupun Uni Eropa pada konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Plaestina dapat melemahkan pengawasan AS pada sekutunya yang berada di wilayah Laut Cina Selatan yaitu Taiwan, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat Tiongkok akan merebut Taiwan sekaligus menegaskan Nine Das Line dan membuat AS yang selama ini menjadi bekingan Taiwan harus menghadapi 3 konflik sekaligus yang tentu akan membuat mereka sangat kewalahan.

Lantas bagaimana seharusnya posisi Indonesia saat konflik di Laut Cina Selatan terjadi? Indonesia tidak boleh menjadi pengikut dan bergantung pada dua negara adidaya tersebut, Indonesia harus menjadi poros baru di wilayah Asia dengan memiliki nilai jual geopolitik yang tinggi ketika konflik tersebut terjadi, Indonesia harus tetap menjadi negara independen yang tidak mudah terbawa arus persaingan dua negara tersebut. Bahkan, Indonesia justru harus bisa menjadi pesaing ke-3 atau setidaknya tidak terjebak pada kepentingan politik salah satu negara tersebut, seperti yang pernah dilakukan Indonesia ditahun 1955 dengan menjadi salah satu pengagas Konferensi Asia-Afrika.

Tentu menjadi negara yang independen tidak akan semudah itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih harus bergantung pada negara lain. Jika ingin menjadi negara yang bisa mandiri atau bebas dari pengaruh ekonomi dan geopolitik luar negeri, Indonesia harus mengambil langkah yang besar terutama dibidang ekonomi dan militer. Menciptakan Indonesia yang mandiri secara ekonomi dengan terus mengembangkan produk dalam negeri dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pemenuhan gizi pada anak harus menjadi salah satu prioritas jika ingin menjadi negara yang mandiri.

Kekuatan militer Indonesia juga harus ditingkatkan demi mecegah konfilk, menjaga stabilitas, dan memenangkan perang jika harus terjadi. Kekuatan militer Indonesia saat ini masih terhitung minim jika nantinya berkonflik dengan negara-negara besar, Indonesia seharusnya juga sudah mengubah fokus pertahanan ke dunia maritim mengingat luasnya laut Indonesia yang harus dijaga dari Sabang sampai Merauke. Peningkatan teknologi dunia milier juga harus terus didorong untuk bersaing dengan negara maju yang nantinya peang tidak akan terjadi secara konvensional seperti perang dunia ke-2, perang dimasa depan mungkin tidak akan melibatkan secara langsung sebuah pasukan yang besar atau tank-tank yang berhamburan diseluruh medan perang. Kemampuan sumber daya manusia dalam pengetahuan dibidang sistem informasi akan menjadi kunci kemenangan perang modern.

Selain kemampuan militer yang kasat mata, pencegahan gerakan spionase dari luar juga harus diperhatikan dalam menjaga kesatuan negara untuk mencegah konflik internal yang disebabkan oleh gerakan intelejen yang masif.

Tentunya perang Russia-Ukraina, konflik Palestina, dan keributan di Laut Cina Selatan  kita harap tidak menyebar dan dapat terselesaikan dalam waktu dekat dan tidak berdampak besar pada Indonesia. Tapi, kita tetap harus siap pada setiap kemungkinan dan saat sekenario terburuk terjadi semoga Indonesia bisa memanfaatkannya untuk menjadi negara maju dimasa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun