Mohon tunggu...
Rahmat Priyadi
Rahmat Priyadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

A longlife learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cyber-begging Dalam Perspektif Ekologi Media

22 Januari 2023   18:05 Diperbarui: 22 Januari 2023   18:20 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
white ceramic mug on white table photo -- Free Uk Image on Unsplash 

Cyber-begging, juga dikenal sebagai mengemis online, mengacu pada tindakan meminta uang atau bentuk lain dari melalui internet. Fenomena ini menjadi semakin lazim dalam beberapa tahun terakhir, karena internet telah mempermudah individu untuk menjangkau khalayak global dan dalam hal ini meminta bantuan. Namun, maraknya pengemis dunia maya juga menimbulkan pertanyaan penting tentang peran teknologi yang disalahgunakan. 

Salah satu kekhawatiran yang paling signifikan adalah eksploitasi individu yang rentan. Beberapa orang mungkin memanfaatkan anonimitas dan kemudahan transaksi online untuk memangsa kemurahan hati orang lain. Hal ini dapat mengarah pada eksploitasi orang-orang yang rentan, seperti mereka yang mengalami tunawisma atau penyakit mental, yang mungkin merasa tertekan untuk meminta uang secara online. Selain itu, penipu dapat memanfaatkan kemurahan hati orang dengan membuat profil atau kampanye daring palsu untuk menipu orang demi uang mereka. 

Akhir-akhir ini yang sempat menghebohkan dunia maya adalah konten mandi lumpur di tiktok live. Hal ini menuai begitu banyak kontroversi, karena menggunakan mereka yang lemah (dalam hal ini orang tua) untuk menggait keuntungan. Seharusnya, dengan berkembangnya teknologi, kemampuan manusia juga berkembang. Karena manusia adalah variabel penting dari berkembangnya teknologi. Sebelum hadirnya teknologi, hampir semua hal kita lakukan secara terbatas, sekadar menulis pun harus membutuhkan usaha yang begitu keras. Lalu, hadir teknologi sebagai mitigasi dari kesulitan yang dihadapi. Teknologi berkembang tapi tidak dengan manusianya, ironis.

Teknologi telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, dengan inovasi dan kemajuan baru dibuat dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, beberapa orang berpendapat bahwa meskipun teknologi mungkin berkembang dengan masif, manusia tidak dapat mengimbanginya. Argumen ini didasarkan pada gagasan bahwa teknologi dengan cepat melampaui evolusi dan perkembangan manusia, yang menyebabkan keterputusan antara kemampuan kita dan alat yang telah kita buat. Salah satu argumen utama yang mendukung gagasan ini adalah bahwa teknologi telah melampaui kemampuan manusia di bidang tertentu. Misalnya, mesin dapat memproses dan menganalisis data dengan kecepatan dan skala yang melampaui kemampuan otak manusia. Selain itu, teknologi seperti kecerdasan buatan dan robot dapat melakukan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap unik oleh manusia. Argumen lain adalah bahwa teknologi telah menyebabkan penurunan keterampilan dan kemampuan manusia. Dengan meluasnya penggunaan teknologi, orang mungkin menjadi semakin bergantung pada mesin untuk melakukan tugas yang dulunya dilakukan dengan tangan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan ketangkasan fisik, keterampilan memecahkan masalah, dan kemampuan kognitif lainnya. Dengan kurangnya keterampilan-keterampilan ini, akhirnya banyak yang memilih jalan pintas. Selain itu, penggunaan teknologi yang berlebihan, seperti smartphone, dapat menyebabkan penurunan komunikasi tatap muka, yang dapat berdampak negatif pada keterampilan sosial dan kecerdasan emosional.

Mengenai "jalan pintas" ini menghantarkan kita pada masalah selanjutnya, yakni potensi pengemis dunia maya untuk melanggengkan siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan. Banyak orang beralih ke pengemis dunia maya untuk melakukannya karena mereka tidak memiliki akses ke bentuk bantuan keuangan tradisional, seperti kesejahteraan pemerintah atau pekerjaan. Dengan mengandalkan donasi online, mereka mungkin melanggengkan kemiskinan dan ketergantungan mereka sendiri pada orang lain. Selain itu, mengemis secara online juga dapat menyebabkan kesenjangan lebih lanjut antara yang kaya dan yang miskin, karena mereka yang tidak mampu membeli teknologi atau akses internet tidak akan memiliki kesempatan yang sama untuk online. 

Selain itu, teknologi telah menciptakan budaya baru yakni kepuasan instan, hal ini dapat mengarah pada normalisasi permintaan uang secara online dan perubahan sikap masyarakat terhadap amal dan membantu yang kurang beruntung. Orang-orang mungkin mulai melihat tindakan memberi sebagai sesuatu yang dapat dilakukan dengan sekali klik, daripada upaya sadar untuk memberikan dampak positif. Hal ini dapat menyebabkan penurunan empati dan kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan.

Kesimpulannya, meskipun mengemis di dunia maya memiliki potensi untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka yang membutuhkan, hal itu juga menimbulkan masalah etika dan sosial yang penting. Hal yang kerap luput juga bahwa teknologi hadir senantiasa untuk membantu kehidupan manusia. Potensi eksploitasi terhadap individu yang rentan, berlanjutnya kemiskinan dan ketidaksetaraan, serta dampak terhadap sikap masyarakat terhadap amal adalah semua masalah penting untuk dipertimbangkan. Untuk mengurangi kekhawatiran ini, mungkin perlu mempertimbangkan bentuk bantuan keuangan alternatif, seperti program kesejahteraan atau pelatihan kerja pemerintah, yang lebih berkelanjutan dan adil dalam jangka panjang. Selain itu, lebih banyak upaya untuk mendidik orang tentang cara mengenali penipuan dan cara memberi secara bertanggung jawab harus dilakukan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun