Oleh : Rahmat Owu.,S.H
Gastro Kolonialisme merupakan fenomena ketika makanan yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan besar menggantikan sistem pangan tradisional dan pola makan masyarakat lokal dan, dalam prosesnya, memicu kekurangan gizi dan penyakit.Â
Istilah ini diciptakan oleh seorang akademisi dari Pulau Guam di Pasifik, Craig Santos Perez, ketika dia meneliti bagaimana sistem pangan dan kesehatan masyarakat di Hawaii terkikis oleh impor berskala besar atas makanan olahan murah berkualitas rendah yang dibuat oleh perusahaan multinasional.
Yang terjadi di Hawaii, juga terjadi di Indonesia, tepatnya Papua. Masyarakat di Papua dulunya memiliki sumber makanan bergizi yang melimpah. Namun, pola makan mereka berubah drastis ketika pemerintah memperkenalkan beras, kemudian mie, dan mengubah tanah Papua menjadi lahan monokultur berskala besar.
Lahan yang tumbuh subur sagu telah banyak digusur dan di ahli fungsikan, hal ini bisa memicu banyak hal mulai dari kebiasaan konsumsi masyarakat, kurangnya gizi yang di konsumsi.
Di saat yang bersamaan, para pendatang yang sebagian besar datang dari Jawa membawa produk kemasan seperti mi instan ke Papua. Mau tak mau, warga Papua akhirnya bergantung kepada produk pangan dari luar daerah seperti mi instan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun perlu diingat, harga mi instan dan beras di sana bisa berkali-kali lipat dari harga di pulau Jawa.
Mi instan produksi dalam negeri memang telah menjadi produk kebanggaan warga Indonesia, terutama penduduk pulau Jawa. Sehingga, tidak heran kalau ada banyak orang yang menolak penggunaan istilah "penjajahan" untuk menggambarkan apa yang terjadi di Papua. Tapi, bukankah seharusnya warga setempat bisa memilih, mengakses, dan mengolah sumber pangan mereka sendiri? Sulit untuk mengatakan bahwa hidup sudah merdeka, kalau untuk urusan pangan pun masih harus didikte oleh orang lain.
Seperti yang baru-baru ini viral banyak konten kreator telah turun ke tanah papua dengan tujuan untuk aksi sosial berupa membagikan makanan instan seperti sekardus mie, sarden, dan lain-lain, ada pula konten kreator yang memperlihatkan aktivitas dimana warga papua sering menukarkan hasil pancingan, hasil pertanian mereka dengan mie instan. Dampak yang ditimbulkan dari hal ini pastilah sangat besar dengan menggeser pangan lokal yang bergizi, dikarenakan masyarakat terkontaminasi oleh kebiasaan konsumsi mie instan di lain sisi juga jika mereka ingin memakan hasil buruan, sudah sangat sulit di dapatkan.
Pola interaksi sosial yang general membuat masyarakat Papua terkontaminasi dan pangan lokal pun runtuh, apalagi banyak anasir-anasir yang digiring seakan-akan makanan mie instan, daging sapi kemasan, sarden, lebih lezat dan bergizi ketimbang hasil alam, sagu, daging rusa, babi hutan, telah menjadi pangan lokal yang sudah lama di konsumsi sudah sepatutnya tidak menyamaratakan pangan lokal, karena setiap daerah di Indonesia punya ketahanan pangan lokal masing-masing dan itu merupakan pride yang harus di pertahankan.
Penjajahan pangan sudah lama terjadi di tanah Papua, alih-alih pemerintah mau mengatasi nya dengan food estate, tapi malah tak terealisasi, akhirnya jalan tengah yang dipakai dengan membagikan sekradus mie instan, dan makanan kemasan lainnya sebagai pengganti pangan lokal.
Jika saja pemerintah jelih dalam menyelesaikan problem seharusnya, pangan lokal harus di dukung dan di fasilitasi dalam prosesnya agar masyarakat tak bergantung dengan pangan seperti beras, karena di Papua tumbuh subur tanaman sagu, begitu juga penting adanya usaha preventif berupa pemahaman gizi pangan bagi masyarakat, agar mereka tak terkontaminasi dan membiasakan diri mengkonsumsi pangan yang sulit di dapatkan di daerah, dengan begitu pangan lokal akan mempunyai nilai pasar dan juga tak kehilangan identitasnya dan tak tergantikan di hati masyarakat.