Lelaki dingin duduk terpekur
di sebuah bangku panjang sama basahnya
matanya menerawang kosong ke depan
tak menatap sebenarnya, hanya terbuka
tangan kurusnya gemetar memegang sebuah buku catatan kecil
kumpulan serapah keseharian yang ia rasakan
kemarahan pada kesalahannya sendiri
masih gemetar, bagai tak kuasa lagi menyangga berat sang buku
di sudut teras rumah reotnya
lambaian dahan kelapa sesekali mengibas ke wajah tirusnya
apa yang ada di dalam hati kecilnya kini
hanya wajah polos tanpa dosa jagoan bungsu harapan masa depannya
anak lelakinya yang masih terlalu belia
wajah itu yang buatnya semakin melemah
yang akhirnya terbawa pada sakit yang menggerogoti
berobatpun tiada guna pikirnya
akhirnya berhasil juga ia menorehkan sedikit-sedikit kata per kata
hanya agar hatinya lebih lega, agar kemarahannya pada diri sendiri bisa terurai
lama kalimat-kalimat pendek itu bisa rampung
dengan bahasa yang tidak indah sama sekali
dan tidak ada niat juga ia menuliskannya dengan indah
cukup agar ia bisa tenang, pergi dengan tenang
membawa caci maki dari dirinya kepada dirinya
***
Esok pagi, anak gadisnya menemukan buku itu tersimpan rapi di dalam koper kayu sang ayah, lembar per lembar terbaca, nampak raut wajahnya menahan marah dan sedih, namun hanya bisa berusaha tidak lagi menangis, supaya ayahnya tenang di sana.
"saya terjebak..., sungguh saya terjebak..!!"
"rentenir besar itu.."
"saya teramat sangat bodoh!!!, ini kebodohan terbodoh saya..!!"
"ampuni saya tuhan...."
Terjawab semua tanya kini..
ladang dan kebun puluhan hektar itu
bukan lagi milik ayah mereka
tidak ada yang tersisa kecuali hutang yang masih beranak pinak
ayah hanya mewariskan hutang
padahal untuk makan sehari-haripun mereka harus berhutang
Dan tetesan bening itu jatuh juga...
***
Bekasi, November 2011