Kemarin lelaki itu datang padaku, menyampaikan sesal yang mendalam. Tadinya enggan kutemui dia, karena luka sudah teramat sangat menyakitkan tertoreh dalam hati .wajahnya kusut tak berseri, lusuh dan sangat kusam. Terlihat tak ada yang membahagiakan dari penampilannya. Setelah meminta penuh harap agar aku bersedia menemuinya walau lima menit saja, aku pun luluh dan menguatkan hati bertemu kembali dengan orang yang sudah membuat hidupku begitu kesusahan tiga tahun belakangan.
Lama kami hanya saling terdiam, begitu kikuk memulai pembicaraan hingga hanya terasa keheningan selama beberapa menit.
“va.. “ dia menyebut namaku dengan suara tercekat dipaksakan.
Aku menoleh kearah wajahnya dengan dipaksakan juga. Berat sekali untuk sekedar menatapnya, karena aku begitu membencinya, serasa ingin ku lumat habis wajahnya dan kubuang ke tempat sampah.
“va.., aku minta maaf, benar-benar minta maaf.. aku tahu kamu masih begitu marah padaku, untuk itu aku datang dengan membuang jauh rasa egoku untuk sekedar menemuimu dan menyampaikan permintaan maaf yang setulusnya dariku” matanya sedikit sayu dan sepertinya tidak dibuat-buat.
Aku tetap terdiam, mengambil segelas plastik air mineral dan sibuk memutar-mutarnya diatas meja dihadapanku.
“va, perih sekali seperti teriris-iris hatiku, mendapati kamu yang kini terasa sangat jauh, yang dulu begitu lembut dan teduh sekejap berubah drastis menjadi seseorang yang tidak aku kenal, aku mendapati dirimu yang menjadi kasar dan penuh amarah, bukan dirimu yang sesungguhnya” matanya mulai memerah, mungkin kali ini ia benar-benar sedang bersedih.
“va, semua karena aku, engaku begitu karnaku. Aku tidak mengharap atau meminta apa-apa darimu, cukup satu anggukan, tanda maafku sudah kamu terima, aku rindu kamu yang dulu” matanya mulai berkaca-kaca, suaranya kini terdengar parau.
“dra, tidak ada satu hal pun yang buatku marah padamu selain kebohongan-kebohongan yang begitu mudah engkau ucapkan, pengkhianatanmu yang menggoreskan luka yang sangat dalam, dan kemudian ketulusanku yang kau cabik-cabik dan begitu tidak kau hargai” akupun hampir menyerah menangis dihadapannya, sebisa mungkin kutahan, tak mau aku terlihat lemah dan seperti terpengaruh oleh semua perlakuannya padaku.
Maka, semuanya kini kembali serentak menyerang, bayangan wajah tak peduli lelaki itu dulu yang dengan mudah mempermainkanku, meninggalkanku begitu saja tanpa pesan, merobek-robek habis rasa kagum dan banggaku padanya. Bagaimana aku yang berkorban penuh untuknya, merelakan kesakitan dan kepedihan menyergap hidupku, merelakan ketiadaan yang membuatku sering merasa kosong, hingga kehilangan kepercayaan diri dan kepercayaan dari kedua orang tuaku.
Apa yang kudapat tidak manis di akhir, aku begitu kecewa, karena harapanku padanya tidaklah membuat ia teguh mencintaiku, ia lebih memilih memenuhi keinginan-keinginan pribadinya, sampai akhirnya tak berbekas aku dihatinya.
Keberhasilan karirnya membuatnya buta dan lalai, ia yang bergelimang harta dan kebebasan, sementara aku terseok-seok mengisi hidup penuh kekurangan yang kemudian harus berusaha mencari nafkah sendiri. Ia yang menghabiskan uangnya hanya untuk kesenangan, di club-club malam, berpesta pora dihampir setiap jam pulang kerja, hingga seorang perempuan hamil olehnya. Perempuan yang kini memiliki anak darinya dan mengambil semua hakku sebagai istri.
Sakitnya aku, hingga seolah mati adalah obatnya. Namun, aku masih sanggup bertahan, kulakukan semua hal yang menyita waktu dan pikiranku agar tidak ada ruang kosong lagi tentangnya.
Namun kini, setelah semua kenikmatan yang dulu berlimpah terenggut habis darinya, ia datang padaku, membawa segala keterpurukannya untuk bisa ia bagi denganku, lantas, apakah memang sebegitu saja peranku sebenarnya bagi hidupnya?
“va, mohon sekali lagi, berikan maaf untukku yang bersalah ini, aku datang bersama hancur lebur beserta kehinaanku, sudilah engkau memaafkanku, aku khilaf dan aku ingin berbenah, aku ingin kita memulai lagi semuanya dari awal dengan hati yang sudah bersih, kurasa ini adalah waktu yang tepat bagiku datang padamu” akhirnya, lelehan air mata mengalir tak terbendung lagi dari matanya juga mataku. Hanya tersisa rasa iba dan kasihan padanya. Tak kupedulikan lagi diriku sendiri juga sakitku.
“va, meski yang tersisa kini hanya penyesalanku, tidak berharap banyak juga aku padamu, aku sangat sadar diri, aku tidak berhak meminta untuk engkau mau menerimaku kembali, meski itu adalah keinginan terbesarku saat ini, sungguh, maaf saja darimu sudah cukup untukku” lelaki itu sesunggukan, kini dalam pelukanku.
Lelaki lusuh itu masih dalam pelukanku, masih menangis seperti aku yang juga menangis karena haru membayangkan bahwa Ramadhan ini takkan sendiri lagi, tempat bersandarku telah kembali, dia, lelaki yang pernah aku cinta dan benci, bersamanya kembali menikmati hari-hari seperti dulu, hanya berdua, seperti waktu bertahun-tahun lalu yang pernah kami jalani, memulai membuka lembaran baru, memulai lagi menapaki jalan terjal yang sudah pernah berhasil kami lewati, merajut lagi kepingan-kepingan perasaan yang terserak.
Sakit itu masih ada, mungkin takkan pernah terhapus, karena lukanya akan tetap membekas sepanjang sisa hidup, namun adalah sang Ramadhan yang menyapa, memberikan nuansa syahdu di kalbu, menawarkan damai pada keikhlasan memberi, ya.. memberi maaf untuk sakitnya sebuah pengkhianatan.
Esoknya, sudah kami jalani sahur dan buka puasa dengan menu sederhana, sesederhana cinta dan kasih sayangku yang ternyata masih kudapati tumbuh menggeliat diantara guguran daun-daunnya.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H