Sastra sangat terkait erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra seperti pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek-robek dada dan menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Pisau tajam ini juga mampu menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada kekuatannya. Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat dengan kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah kehidupan manusia. Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda. Sejarah menuliskan bagaiman sosok seorang Umar bin Khotob yang punya kepribadian keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan kematian tidak sedikit pun membuatnya merinding ketakutan. “Syair macam apa yang kau baca itu?” Begitu tanya Umar saat pertama kali mendengar ayat-ayat suci dari Tuhan Penguasa semesta. “Betapa indah dan agungnya kalimat di dalam syair ini,” takjub Umar setelah membacanya. Ucapan Umar menunjukan bahwa hal pertama yang membuatnyat tertarik pada Islam adalah keterpesonaannya terhadap untaian tata bahasa Al-Qur’an yang begitu indah. Hanya syair dari Illahi inilah yang mampu membuat air matanya mengalir deras. Hanya untaian kalimat indah di dalam Al-Qur’an-lah yang sanggup membuatnya takluk dan tunduk serta merinding ketakutan. Kekuatan SastraDalam Mendidik Bangsa Sebelum Al-Qur’an turun, masyarakat jahiliyah negeri Arab memang sudah dikenal sebagai masyarakat yang mengagungkan para penyair dengan untaian sastra puisinya. Seperti yang dituliskan oleh Ibnu Rasyik dalam bukunya yang berjudul “Umdah” bahwa para penyair memiliki pengaruh dan kedudukan yang tinggi bagi bangsa Arab waktu itu. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga sering kali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan bayaran dan jabatan yang tinggi. Ada pula yang menggunakan penyair sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seorang penguasa. Sebuah karya puisi, pada bangsa Arab dahulu, sanggup mempengaruhi kondisi masyarakat, bahkan mengubah sikap dan posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kehebatan sastra para penyair waktu itu hanya bisa ditandingi oleh keindahan bahasa dari ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Rabbul izzati kepada Muhammad SAW. Betapa pentingnya sastra hingga Umar bin Khotob pun pernah mengingatkan, “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, maka kau sedang mengajarkan keberanian pada mereka!” Betapa tinggi nilai essensial dari sastra hingga Anis Matta dalam bukunya yang berjudul “Mencari Pahlawan Indonesia” mengajak pembacanya untuk mempelajari dan mengajarkan sastra.Sastra mengajarkan keberanian, sastra mengajarkan kelembutan, sastra mengajarkan keindahan, sastra mengajarkan kepedulian. Sungguh sangat beralasan jika negara-negara maju sudah menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata. Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jerman, dan negara-negara maju lainnya, bahwa pendidikan sastra banyak mempengarui moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian, nge-drug, dan melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata etika mereka dengan budi pekerti yang baik. Padahal remaja yang hidup di negara maju tersebut merupakan remaja yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki kebebasan yang tinggi. Bicara tentang sastra, ada penelitian yang menarik. Bahwa, berdasarkan hasil dari beberapa penelitian di luar negeri, menunjukan ternyata berpuisi—sebagai salah satu bagian dari sastra—selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan pernafasan. Sastra memang luar biasa! Pendidikan Sastra Kita Lantas bagaimana dengan pendidikan sastra di negara kita? Sayangnya, sastra di negara kita belum maksimal benar masuk ke ranah pendidikan. Terutama sastra untuk pendidikan pelajar tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Pendidikan sastra masih seperti untaian berlian yang belum terasah. Berlian yang masih dianggap terlalu mahal, kalau tidak boleh disebut terpinggirkan, untuk dinikmati keindahannya. Berlian itu terus tersimpan di etalase toko perhiasan yang hanya bisa dilihat tanpa boleh menyentuhnya. Bahkan mungkin masih tersimpan di dasar lautan yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang mau berjuang menyelami samudera. Sastra di negara kita masih seperti dianaktirikan oleh dunia pendidikan. Pendidikan sastra secara formal masih menjadi salah satu materi yang diajarkan di dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan sastra seolah hanya menjadi pelengkap dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra dianggap sebagai hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati atau Tenggelamnya Vanderwijk karya Buya Hamka, dan sebagainya karena mereka terpaksa atau bisa jadi dipaksa menghafal. Sebatas tahu judul buku dan penulisnya, serta membaca sebagian kutipan yang ada di salah satu halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekedar berjaga-jaga kalau keluar dalam soal ujian. Ujungnya, sastra hanya berlabuh dalam aktivitas menghafal, mencatat, ujian dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas dalam benak para pelajar. Pendidikan formal relatif sangat kecil dalam perannya melahirkan sastrawan. Bisa dibilang, sastrawan, penyair, dan penulis-penulis hebat besar di jalanan, bukan karena pendidikan sastra dari lingkungan formal. Padahal kalau mau melihat lebih luas, ternyata karya-karya anak bangsa justru banyak diapresiasi di luar negeri. Contohnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka telah menjadi bacaan wajib di negara seperti Malaysia, Cina, dan Belanda. Karya-karya mereka menjadi rujukan penting dalam memahami dunia sastra. Jadi tidak sekedar menghafal penulis dan judul karyanya saja, tapi mereka juga mengadakan kajian mendalam sehingga pelajar bisa benar-benar menyelami nikmatnya sastra. Kini sudah saatnya dunia pendidikan tidak melihat sastra sebelah mata. Sastra bukan barang langka yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan identitas. Dunia pendidikan di negara kita harus sudah memisahkan sastra dari pelajaran Bahasa Indonesia, mendalami sastra secara lebih luas, melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari pendidikan formal dan memfungsikan dengan maksimal kekuatan sastra untuk mendidik generasi dan kehidupan berbangsa. Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban. Jika sastra tercerabut dari akar kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan. Kembali mengutip bukunya Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan keberanian.” ================ Artikel ditulis Oleh Rahmat HM Penulis, Sastrawan, Wartawan, Dosen Jurnalistik UNPAK Bogor, Pengurus Forum Lingkar Pena, Pendiri Forum Diskusi Lingkar Study Mindset Revolution (LISMIR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H