Sebelum publik larut dalam kehebohan November, kita disentak fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Lelaki bergelar Sri Raja Prabu Rajasa Nagara ini mendaku diri punya kekuatan di luar nalar. Yang booming perihal kekuatan gaibnya untuk menggandakan uang. Sementara, yang membuat saya meringis, adalah visinya untuk membangkitkan kejayaan Nusantara.
Betapapun ganjilnya, toh Taat Pribadi punya ribuan murid. Dan itu artinya, ia dipercaya. Tidak jelas, apakah mereka percaya akan visi atau kekuatan mistis Taat Pribadi, yang jelas hal itu tampaknya sesuai dengan apa yang mereka idam-idamkan. Klop! Keganjilan di mata awam, menjadi sesuatu yang galib di mana pengikut.
Lantas, waktu bersijengkat. Pelan-pelan, Ismail Hidayan dan Abdul Gani dilanda penasaran. Mereka melakukan cross-chek.Pelbagai informasi yang bertentangan didapat, dianalisa oleh otak. Lewat penelusuran itu, akhirnya mereka menemukan kebenaran baru.
Sekarang, perilaku ganjil Sang Guru dalam kacamata orang awam menjadi ganjil pula di mata mereka. Selanjutnya insiden. Mereka dibunuh. Dan kasus pun bergulir ke ranah hukum. “Bila mereka tidak dibunuh, modus penggandaan uang yang dilakukan Taat bakal terbongkar,” tutur Kasubdit Kejahatan dengan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jatim Ajun Kombes Taufik Herdiansyah Z. (29/9/2016)
Demikianlah yang terjadi, ketika yang diidam-diidam bertemu harapan. Ketika titik ini disentuh, bahkan serbuk arang pun tampak serupa kersik perak. Pada titik ini publik larut akan kepercayaan hingga alpa untuk mengklarifikasi, silap untuk merenung; dan parahnya turut menyebar-luaskan keteledoran itu. Muaranya, ribuan informasi sampah pun memenuhi ruang publik kita, termasuk di sosial media.
Belajar dari fenomena Dimas Kanjeng, publik sudah selayaknya memperkuat rasa penarasan. Publik sebaiknya melakukan cross-chek atas serbuan informasi, sebelum mempercayainya, apalagi menyebarkannya. Ini adalah satu tindakan untuk mencegah terjadinya kekacauan emosi dan sengketa sosial.
Tetapi, berapa banyak diantara kita yang telah melakukannya?
Teledor dan Filosofi Propaganda Hitler
Keteledoran di aras sosial media bisa dimaafkan, tetapi bagaimana dengan kesengajaan? Yang saya maksud kesengajaan adalah upaya sadar untuk memproduksi desas-desus sehingga tampak menjadi informasi sarat kebenaran. Mereka memanfaatkan keteledoran masyarakat. Informasi dijungkir-balik, dikemas bernas dalam pelbagai bentuk: narasi cantik, video apik, sampai meme ciamik.
Hal ini mengingatkan saya pada satu tulisan Yusril Ihza Mahendra, judulnya Etika, Intelektual dan Propaganda. Dalam tulisannya itu, Yusrik menyebut perihal Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, yang menegaskan mengatakan: Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya.
Kelompok ini menghalalkan dusta, penjungkir-balikan fakta, rumors dan fitnah untuk mencapai tujuannya. Dan publik pun ketempuan. Mengapa? Karena, dengan memanfaatkan hasrat yang diidam-idam dan keteledoran kita pula, mereka mendegradasi masyarakat Indonesia yang beradab menjadi serupa mereka, sosok bar-bar yang gandrung memaki, mencercah, bahkan memfitnah dengan hanya bersenjatakan desas-desus.