Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua. Peribahasa ini bukan omong kosong. Meski Indonesia sudah memasuki era digital, kearifan lokal tetap dijunjung tinggi.
Hal ini bisa dilihat dari pengakuan honorer K2 terhadap pemerintah SBY yang didukung penuh Partai Demokrat. Seorang koordinator honorer K2 Indonesia, Bhimma secara tegas mengakui sumbangsih SBY atas kesejahteraan honorer K2.
Sepuluh tahun memerintah, SBY tidak pernah mengabaikan honorer K2. Menurutnya SBY mau mendengarkan aspirasi honorer K2 makanya ada satu juta lebih honorer yang diangkat jadi PNS.
Tentu saja hal ini tidak perlu dibesar-besarnya. Sebagai Presiden RI ke-6, sudah kewajiban SBY untuk berjuang menyejahterahkan rakyat Indonesia. Bagi SBY, kepemimpinan adalah amanah. Sejak dulu hingga hari ini, Demokrat di bawah kepemimpinan SBY selalu menerapkan falsafah "yang penting negara adil dan rakyat sejahtera.
Kalaupun sekarang Bhimma dan honorer K2 merasa kecewa dengan pemerintah hari ini, apa boleh buat. Kalaupun hari ini mereka menilah Presiden Jokowi kebal didemo honorer K2 maupun non-kategori, tentu bukan salah SBY dan Demokrat.
Memang, sejak 2015, honorer K2 giat melakukan unjukrasa. Salah satu yang terbesar adalah unjuk rasa pada 30-31 Oktober 2018. Tapi, mereka menilai tidak ada satu pun yang dihiraukan pemerintah. Jangankan presiden, bahkan menteri pun tidak menyambut.
Saya serasa bisa memahami perasaan Bhimma dan honorer K2 itu. Ya, kejadian akhir November 2018 itu memang tragedi. Bahkan saat saat honorer K2 memilih menginap di depan Istana tidak ada satu pun utusan Istana Negara yang berempati. Sampai-sampai menerka menilai hanya pemimpin yang tidak punya hati nurani yang menelantarkan rakyatnya di depan Istana Negara.
Hari ini pemerintah coba menjawab keresahan honorer K2 itu dengan menerbitkan PP 49/2018 tentang Manajemen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Salah satu isinya adalah menempatkan tenaga pendidik sebagai tenaga kontrak.
Saya pikir solusi ini amatlah mentah. PP ini hanya menempatkan pekerjaan mulia seorang guru tak lebih dari kuli kontrak. Padahal, guru bekerja tak hanya saat berada di sekolah, tapi saat berada di rumah juga harus mengoreksi pekerjaan rumah para murid. Bagaimana mungkin pekerjaan semulia itu berstatus sebagai pegawai kontrak seumur hidup? Bukankah itu menyalahi dasar perjanjian kerja?
Saya juga bingung menanggapi janji-janji politik itu. Katanya PPPK akan disamakan dengan PNS. Kalau benar disamakan, kenapa tidak sekalian diangkat jadi PNS saja?
Saya pikir tidak ada pilihan bagi honorer K2 selain mendorong perubahan yang mendasar. Pucuk kepemimpinan harus diganti. Begitu juga dengan partai yang berkuasa. Sudah saatnya posisi PDIP dikembalikan kepada Partai Demokrat. Karena partai nomor urut 14 ini sudah terbukti memperjuangkan kesejahteraan honorer K2 pada masa pemerintahan SBY.