[caption id="attachment_341887" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by Rahmat Hadi) Kota Yangon Dari Ketinggian"][/caption]
Aku kembali lagi ke Yangon sejak beberapa hari yang lalu dan masih untuk urusan pekerjaan. Manajemen perusahaan tempatku bekerja di Myanmar memintaku untuk memperpanjang Short Term Assignment (STA) Â hingga akhir maret tahun depan dan aku menyetujuinya.
[caption id="attachment_341888" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by Rahmat Hadi) Shwe Dagon Pagoda"]
![14188961101664625095](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14188961101664625095.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Ada beberapa alasan mengapa aku masih ‘betah’ untuk berada di mantan ibukota negeri ‘ The Golden Land’ Myanmar ini tapi yang paling menarik adalah bagiku kota ini sangat unik. Berada di Yangon seperti berada di sebuah ruang dimana aku bisa merasakan sesuatu dalam 3 dimensi. Dalam artian bahwa di kota ini aku bisa melihat masa lalu, masa kini dan masa depan di dalam satu tempat. Sangat unik dan menarik dan aku merasakan sebuah gairah yang luar biasa saat menyusuri jalan-jalan di sela-sela ruko di beberapa jalan yang menjadi kawasan bisnis maupun pemukiman.
[caption id="attachment_341889" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by Rahmat Hadi) Presiden Jokowi dan Masyarakat Indonesia di Myanmar"]
![14188962011167046492](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14188962011167046492.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Selama berada di Myanmar, aku baru sempat mengeksplore kota Yangon walaupun belum semuanya mengingat di kota yang sejak maret 2006 ini tak lagi menjadi ibukota Myanmar yang sudah dipindahkan oleh pemerintah junta militer saat itu ke Nay Pyi Taw (baca: Napidaw) yang terletak sekitar 200 mil atau 320 km dari kota Yangon, kota yang menjadi tempat perhelatan ASEAN Summit yang dihadiri Presiden Jokowi.
[caption id="attachment_341890" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by Rahmat Hadi) Bangunan Tua di Kota Yangon"]
![1418896287809738044](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1418896287809738044.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Selain Shwedagon dan Sule Pagoda yang menjadi landmark dari kota Yangon sekaligus negeri Myanmar yang sebelumnya bernama Burma ini, masih banyak lagi objek wisata menarik khususnya bagi yang suka dengan bangunan-bangunan tua atau situs-situs masa lalu di jaman Kolonial. Banyak bangunan tua yang masih kokoh berdiri dan sebagian diantaranya tak terawat karena sebelumnya bangunan atau gedung itu ditempati pemerintah pusat.
[caption id="attachment_341891" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by Rahmat Hadi)Bangunan Tua di Kota Yangon"]
![14188963411168740196](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14188963411168740196.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Ke-‘masa lalu’ an kota ini bukan hanya dilihat dari gedung-gedung tuanya, namun juga dari sarana transportasi yang masih berseliweran di jalan-jalan raya khususnya di downtown. Becak yang unik karena penumpangnya harus duduk saling membelakang, sepeda ontel yang hingga sekarang masih banyak digunakan oleh masyarakat serta yang paling unik adalah aktifitas ‘nyirih’ atau mengunyah daun sirih dan kapur adalah kebiasaan masyarakat yang hingga saat ini masih dilakukan bukan saja oleh orang tua tapi juga para pemuda remaja. Jadi jangan heran jika suatu saat berkunjung ke Yangon dan melihat para pemudanya memiliki bibir merah, itu bukan karena lipstick, tapi karena nyirih!
[caption id="attachment_341892" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by Rahmat Hadi)Becak di Kota Yangon"]
![14188963761175143759](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14188963761175143759.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)