Aku harus berjalan kaki menyusuri jalanan menempuh jarak sejauh 5 kilometer sambil memanggul daypack mejelang tengah malam. Sempat merasa kesal hingga menegur salah seorang turis asing di Masjid Keling yang penuh sejarah. Apa pasal? Bagaimana pula rasanya mengendarai mobil amphibi sambil menikmati panorama kota hingga berlayar di perairan selat Melaka? Simak kisahnya…
Weekend kemarin aku kembali berjalan-jalan. Kali ini tujuanku adalah Kota Melaka, kota kecil berjarak 148 km sebelah selatan Kuala Lumpur. Jumat sore aku tiba di Section 13 tempat Bus Station Shah Alam berada. Terminal bus darurat yang dibangun pemerintah karena terminal bus permanent sedang di renovasi. Selain ke Melaka, terminal ini juga menjadi tempat pemberangkatan dan kedatangan untuk beberapa daerah di sekitar Kuala Lumpur semisal Penang, Seremban, Kedah dan daerah lainnya. Aku yang sudah memesan tiket online langsung mencari counter bus Transnasional, bus yang akan membawaku ke Melaka.
Aku baru terbangun setelah bus mulai memasuki daerah Melaka setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Awalnya aku mengira Melaka hanyalah sebuah kota kecil yang tak begitu ramai. Apalagi dengan status sebagai The World Heritage City atau Kota Warisan Dunia yang disandangkan UNESCO, tentunya kota ini hanya dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua yang menjadi alasanku untuk mengunjunginya. Namun ternyata aku salah besar. Dari kejauhan sudah tampak bangunan-bangunan tinggi menjulang. Kendaraan yang di dominasi kereta (mobil) berseliweran.
Waktu demi waktu berlalu namun tak ada taksi yang melintas. Mobil banyak berseliweran, motor hanya sesekali. Tak ada orang berjalan kaki. Aku sempat berpikir apakah kawasan yang aku tempati menunggu itu bukan kawasan pejalan kaki. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju arah pusat bandar (kota) sesuai papan petunjuk. Sesuai informasi saat melakukan reservasi, hotel yang akan aku tempati selama di Melaka terletak di pusat kota. Sambil berjalan sesekali aku menoleh ke belakang berharap ada taksi yang melintas.
Harapan tinggal harapan. Waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 malam artinya aku sudah berjalan hampir setengah jam. Segera aku mengaktifkan aplikasi google map untuk melihat seberapa jauh lokasi hotel dari tempatku berada. Ternyata masih tersisa 4.2 kilometer dan membutuhkan waktu 15 menit! Keringat sudah membasahi sekujur tubuh, rasa lapar kembali mendera dan rasa ngantuk tak ketinggalan mulai merongrong kondisi fisikku. Taksi masih tak kelihatan batang hidungnya. Akhirnya aku kembali berjalan mengikuti arahan google map dan tiba di hotel sesaat menjelang pukul 10 malam. Aku segera menyelesaikan pembayaran lalu mengambil kunci dan berjalan menuju ke kamar yang terletak di ujung lorong. Aku ingin segera mandi, makan malam dan tidur. Pelajaran hari ini, jangan pernah menolak taksi di Sentral Melaka atau engkau harus trekking sejauh 5 km!
Usai shalat subuh, aku keluar berjalan-jalan. Hari masih gelap dan Hotel Traveler tempatku menginap masih sepi. Belum banyak orang berseliweran di kawasan Dataran Pahlawan dan Plaza Mahkota, kawasan tempat hotelku berada. Aku melintasi menara Taming Sari, sebuah menara yang menjadi tempat pelancongan (wisata) baik bagi warga lokal maupun turis. Bentuknya mirip stasiun TVRI di Jakarta dan memiliki kapsul yang bisa turun naik hingga ke puncak menara. Nanti aku ceritakan detailnya..
Aku kembali berjalan menyusuri pinggiran sungai yang dijadikan jogging track. Suasana pagi nan hening sesekali ditimpali suara burung camar selat Melaka menjadikan awal hari itu terasa sangat syahdu. Aku sempat berimajinasi andai sungai-sungai di Jakarta seperti ini tapi ah..sudahlah!