Hari ibu tersisa seminggu lagi. Hari yang diperingati setiap tanggal 22 Desember itu terkadang luput dari ingatan dan perhatian. Melalui tulisan-tulisan yang akan aku publish mulai hari ini hingga tanggal 22 Desember mendatang akan membahas tentang wanita mulia yang melahirkan kita semua, Ibu. Meskipun temanya tak akan jauh-jauh dari tema tulisan yang selama ini aku publish di Kompasiana yakni traveling. Semoga tulisan-tulisan itu bisa menginspirasi Kompasianer lainnya untuk turut melakukan sesuatu yang indah buat ibu di hari Ibu tahun ini.
Mungkin masih banyak yang belum tahu bahwa Hari Ibu yang diperingati di Indonesia setiap tanggal 22 Desember itu sebenarnya berawal dari sebuah Kongres Wanita di tanggal 22 Desember 1928 di Jogjakarta. Baru pada tanggal 22 Desember 1953, sebuah dekrit ditandatangani oleh Presiden Soekarno yang mengesahkan tanggal itu sebagai Hari Ibu. Awalnya tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Seiring perkembangan zaman, hari ibu dijadikan sebagai hari bakti seorang anak terhadap ibunya.
Tak perlu menunggu Hari Ibu untuk menunjukkan bakti terhadap wanita yang melahirkan kita. Setiap hari adalah hari bakti kepada ibu. Berbakti kepada orang tua khususnya kepada ibu bagiku bukan lagi sebuah kebaikan. Namun itu adalah sebuah kewajiban. Sama seperti seorang ibu yang melahirkan dan merawat anak-anaknya bukan hal istimewa lagi. Saking tak istimewanya, beberapa orang terkadang lupa untuk memberikan sesuatu kepada ibunya khususnya di Hari Ibu andai tak bisa setiap hari. Padahal banyak sekali hal-hal kecil dan sederhana yang bisa dilakukan untuk membahagiakan seorang Ibu.
Salah satu hal kecil dan sederhana yang sering aku lakukan bersama ibu adalah traveling. Traveling berdua bersama ibu? Yah, Aku dan Ibu yang aku panggil Mama cukup sering melakukan traveling berdua karena itu hobby kami. Sepertinya darah traveling yang ada dalam tubuhku mengalir dari beliau. Tak heran meski sudah berumur 79 tahun, semangat untuk berjalan-jalan tetap membara. Hanya saja terkadang tak dibarengi dengan kekuatan fisik yang mulai meredup seiring bertambahnya usia. Faktor itulah yang menjadi tantanganku sebagai seorang anak .
Aku rutin membawa Mama jalan-jalan. Salah satu yang paling sering adalah melewatkan hari sabtu atau minggu di Kebun Raya Bogor. Di sana kami hanya melewatkan waktu dengan berjalan berkeliling menghirup udara segar dan akan berakhir dengan makan siang diatas tikar tepat di halaman belakang kebun raya yang menghadap Istana Bogor.
Semua berawal dari percakapan itu. Suatu hari aku mendapat tag dari salah seorang rekan di facebook yang memberitahukan bahwa Istana Bogor kembali di buka untuk umum. Saat itu Presiden Jokowi belum menetap di sana. Acara itu diselenggarakan oleh salah satu komunitas pencinta sejarah yang sudah sering membawa masyarakat umum ke dalam Istana. Aku lalu menghubungi panitianya dan langsung mendaftarkan diri untuk 2 orang, aku dan mama. “Akhirnya keinginan mama bisa terwujud” pikirku. Aku langsung menyampaikan berita gembira itu ke Mama. Tentu saja beliau senang mendengarnya.
Patung-patung perunggu di beberapa sudut istana, lukisan-lukisan yang pastinya bernilai mahal tergantung di hampir setiap sisi dinding. Kursi-kursi bergaya klasik dan etnik terlihat menghias ruangan yang terasa sacral itu. Selepas dari sisi sayap kiri, kami melangkah masuk lebih dalam lagi yang membawa kami ke sebuah lorong yang diapit 2 buah cermin.
Uniknya, 2 buah cermin itu ditempatkan berhadapan. Sebagai efeknya, bayangan di cermin akan terlihat sangat banyak. Itulah cermin seribu. Konon, titik di antara ke 2 cermin itu merupakan titik nol Istana Bogor.