Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Antara Mesjid Al-Aqsha, Jalan Salib, dan Batu Terbang di Jerussalem Palestina

16 November 2015   15:40 Diperbarui: 20 November 2015   20:55 29669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa hubungannya antara Masjid Al-Aqsha, Jalan Salib dan rumor batu terbang di Baitul Maqdis Jerussalem Palestina? Kenapa aku harus kembali berurusan dan di-interview tentara Israel? Ikuti kisahnya…

Masih ingat cerita saat aku Terjebak di tengah-tengah tentara Israel? Kali ini aku akan menyajikan sekuel-nya saat menjelajah di sudut-sudut Kota Jerussalem. Namun, harus lebih berhati-hati dalam bercerita karena tempat ini adalah tempat yang disucikan oleh 3 agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.

Langkah pertama memasuki Masjid Al-Aqsha terayun dengan menginjakkan kaki di hamparan karpet tebal berwarna merah. Beberapa Jemaah sudah berada di sana termasuk rombongan dari Indonesia yang sudah tiba lebih awal. Mereka menyambut aku dan Pak Dokter dengan sukacita dan terharu karena was-was saat kami terlambat tiba di masjid.

Saat berada dalam posisi siap untuk shalat Tahiyyatul Masjid, aku merasakan badan bergetar, bulu kuduk di seluruh tubuh merinding. Saat membaca niat dan melakukan Takbiratul Ihram sambil mengucapkan "Allahu Akbar", air mata mulai mengambang di pelupuk mata dan menetes membasahi sajadah. Rasa haru tak dapat aku tahan. Aku hampir tak percaya bisa melakukan shalat di salah satu masjid tersuci  umat Islam ini.

Masjid yang berdiri di lokasi terakhir sebelum Rasulullah diterbangkan ke langit untuk bertemu sang Maha Kuasa. Masjid yang pernah menjadi kiblat shalat sebelum dipindahkan berkiblat ke Mekkah atas perintah Allah SWT. Air mata terus menerus mengalir hingga aku mengucapkan salam di akhir shalat penghormatan kepada Masjid AL-Aqsha. Selanjutnya bersama jamaah lainnya aku akan melaksanakan shalat subuh secara berjamaah.

Saat melaksanakan shalat subuh nan penuh khidmat, rasa haru semakin terasa. Suara syahdu sang Imam terdengar begitu menyayat hati di subuh yang dingin itu. Sesekali terdengar suara isak tangis tertahan dari beberapa Jemaah. Yah, hampir kami semua menangis pagi itu.  Bukan hanya suara tangis dari rombongan Jemaah Indonesia tapi juga dari penduduk asli Palestina yang melakukan shalat subuh di sana. Terbayang penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina untuk bisa masuk ke masjid ini. Beberapa aturan ketat diterapkan oleh pemerintah Israel sebagai pemegang authoritas  Jerussalem.

Rentetan sejarah panjang yang berdarah-darah juga sepintas terlintas dalam ingatan. Catatan sejarah yang menorehkan luka di atas tanah suci bagi ke 3 agama. Andai negeri indah dan suci ini bisa dikembalikan ke masa saat Umar Bin Khattab, khalifah Islam ke dua yang pernah berkuasa saat ke 3 agama itu hidup berdampingan dengan damai. Suara adzan, lonceng gereja dan Sinagoge (tempat ibadah orang Yahudi) berpadu membentuk harmoni pagi saat pagi menyapa.  Semoga perdamaian abadi itu bisa terjadi suatu hari nanti di negeri suci Baitul Maqdis ini, Aminnn..

Usai shalat subuh, kami berjalan-jalan di sekitar kompleks Al-Aqsha sambil menunggu sinar mentari pagi. Masjid As-Shakhrah atau Dome of the Rock dengan kubah emasnya masih tertutup. Di pelataran masjid yang terdapat beberapa mihrab (ruang shalat), tampak beberapa burung merpati putih asyik bercengkerama.  Ada hal yang perlu aku garis bawahi mengenai masjid Al-Aqsha untuk menghindari kesalah pahaman selama ini. Masjid dengan kubah emas itu bukanlah masjid Al-Aqsha namun itu adalah Masjid As-shakhrah atau Dome of the Rock.

Masjid Al-Aqsha sendiri ada di sampingnya tepatnya di sebelah selatan Masjid As-Shakhrah. Jika As-Shakhrah memiliki kubah dari emas, maka kubah Masjid Al-Aqsha berwarna abu-abu tembaga. Karena keunikan arsitekturnya, Masjid As-Shakhrah lebih sering menjadi landmark atau icon kota Jerussalem atau Palestina. Apalagi batu yang konon adalah batu terbang ada di dalam masjid itu. Benarkah? "Sabar ya, kita jalan-jalan dulu di sekelilingnya."

Sinar keemasan mentari pagi berpendar menerangi langit biru dan berpadu dengan sinar keemasan yang berasal dari pancaran kubah Dome of the Rock. Bisa terbayang kan betapa indahnya? Hamparan halaman yang ditumbuhi pohon zaitun mulai terlihat dengan jelas.  Dari kejauhan terlihat pemandangan Mount Olive atau Gunung Zaitun yang mulai bergeliat menyambut hari baru. Indah, teramat indah dan rupawan wajahmu wahai Baitul Maqdis….

Kami kembali menyusuri  lorong-lorong dan terowongan di dalam Old City atau Kota Lama menuju Gerbang Herod, tempat kami masuk tadi. Beberapa aktifitas sudah mulai terlihat. Anak-anak yang berangkat ke sekolah, tentara Israel yang senantiasa mengawasi setiap sudut dan beberapa pedagang sudah mulai membuka tokonya. Kami kembali ke hotel untuk menikmati sarapan untuk selanjutnya menikmati City Tour untuk ke Mount Olive, kembali ke Mesjid Al-Aqsha dan Dome of the Rock! Aku sangat penasaran ingin membuktikan fenomena batu terbang yang sempat beredar di media massa beberapa waktu lalu.

Menumpang sebuah bis besar, rombongan berjumlah 25 orang itu bergerak meninggalkan hotel usai sarapan. Tujuan pertama kami adalah mengunjungi Mount Olive (Gunung Zaitun) untuk berziarah ke Makam salah satu sahabat Rasulullah Muhammad SAW, Salman Al Farizi. Setiba di Mount Olive, terlihat sudah banyak turis ataupun pesiarah yang tiba di sana. Bukan hanya umat muslim, tapi juga umat Kristen dan Yahudi. Usai berziarah ke Makam Salman Al Farizi, kami menuju ke view point dimana pengunjung bisa menyaksikan Old City dari kejauhan termasuk sang primadona, Dome of the Rock. Bangunan bersejarah nan cantik itu berdiri dengan anggunnya di tengah-tengah jejeran bangunan lainnya. 

Tujuan berikutnya adalah kembali ke Al-Aqsha. Kali ini kami akan melewati route yang berbeda dengan jalan yang kami lewati saat shalat subuh tadi. Kami akan masuk dari arah Lion’s Gate di Jericho Road di mana terdapat Via Dolorosa yang berarti Jalan Kesengsaraan atau Jalan Penderitaan.  Tempat yang juga dikenal dengan nama Jalan Salib ini sangat bersejarah bagi umat Kristiani karena di tempat inilah Yesus berjalan sambil memanggul salib menuju tempat terakhir di makam kudus. Jalannya menanjak khas perbukitan dan di sisi kanannya terdapat dinding kota lama Jerussalem.

Kami melewati  Lion’s Gate dengan pemeriksaan ketat tentara Israel yang memeriksa seluruh barang bawaan pengunjung.  Aku sempat disisihkan ke special area untuk pemeriksaan lanjutan  karena di dalam daypack yang aku bawa berisi tablet. Jadilah aku harus di-interview oleh tentara Israel meskipun tak terlalu lama. Aku hanya ditanya alasan membawa tablet yang aku jawab bahwa aku mencatat seluruh detail perjalananku di tablet itu. Sang tentara pun manggut-manggut dan membiarkanku lewat.

Setelah melewati jejeran lorong berisi penjual di dalam bazaar, akhirnya kami tiba kembali di kompleks Al-Aqsha. Beberapa anak sekolah terlihat berbaris di depan pintu Masjid As-Shakhrah. Mereka terlihat mengantri untuk masuk ke dalam masjid, sementara kami para peziarah memasuki pintu berbeda. Setiba di dalam masjid, tampaklah ornamen-ornamen masjid yang sangat indah.  Dinding dan tiang marmer berpadu dengan ornamen di bagian atap menjadikan masjid ini terasa sakral. Aku terus mencari benda yang selama ini membuatku penasaran, batu terbang.

Sebuah batu yang menjadi pijakan terakhir Rasulullah SAW di bumi sebelum terbang ke Sidratul Muntaha untuk bertemu langsung dengan Allah SWT untuk menerima perintah shalat 5 waktu.  Sayang sekali saat itu di lokasi batu itu sedang direnovasi dan ditutupi kain jadi tak terlihat. Di sini aku jelaskan bahwa batu terbang itu hanyalah hoax atau rumor. Batu tempat berpijak Rasullullah Muhammad SAW itu tepat berada di bawah kubah emas. Menurut penjelasan pemandu kami, saat tidak direnovasi batu itu bisa terlihat dengan jelas karena hanya dibatasi kayu mahoni  setinggi 1 meter. 

Meskipun direnovasi, namun para pengunjung tak perlu kecewa karena masih tersedia sebuah tempat di mana pengunjung diberikan kesempatan untuk bisa memegang batu tersebut. Sebuah lubang dibuat agar pengunjung bisa memasukkan tangan untuk meraba dan menyentuhnya. Semua rombongan mencobanya termasuk aku dan mama. Ada rasa berbeda saat aku memasukkan tangan ke dalam lubang dan merasakan permukaan batu yang terasa sejuk seperti basah. Saat tangan aku keluarkan, tercium aroma wangi dari sela-sela jari. Subhanallah… 

Usai shalat sunnah, kami menuju sebuah tangga yang akan membawa kami turun ke sebuah tempat berupa gua yang berada persis di bawah batu tempat berpijak tadi. Mungkin itulah menjadi penyebab batu itu dinamakan batu terbang atau melayang karena di bawah batu itu terdapat gua. Dikisahkan Rasulullah sempat melakukan shalat di tempat itu saat melakukan Isra’ Mi’raj.

Sajadah sekaligus karpet merah berada di lantai gua yang diterangi beberapa lampu berchaya kuning. Kami semua melakukan shalat sunnah meski harus bergantian karena ruangan yang gua yang sempit.  Lagi-lagi terselip rasa haru dalam setiap gerakan shalat mengingat Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan kami Umat Islam pernah menunaikan shalat di tempat ini. Tetesan air bening kembali menetes membasahi sajadah yang terhampar di lantai goa.

Keluar dari As Shakhrah , kami kembali menyusuri beberapa situs sejarah sarat makna di tempat suci ini. Salah satunya adalah tempat yang berada di Gate Maroko dengan pintu tertutup di mana terdapat sebuah pengait besi bulat tempat bouraq, kendaraan kuda ‘bersayap’ yang digunakan Rasulullah Muhammad SAW ditambatkan saat Rasul sedang menunaikan shalat. Kami bergantian menuruni anak tangga lingkar yang ada di tempat itu untuk menyaksikan saksi sejarah penting bagi Umat Islam dunia.

Waktu menjelang shalat dhuhur kami bersama-sama menuju ke Masjid Al-Aqsha untuk menunaikan shalat dhuhur.  Sebelum mengambil air wudhu, kami terlebih dahulu menuruni anak tangga yang membawa kami ke lantai bawah masjid yang berupa lorong-lorong. Tempat ini juga sering digunakan untuk shalat karena terdapat karpet sajadah berwarna merah. Kami sempat mengambil foto di ruang bawah tanah masjid ini.

Usai shalat dhuhur, kami kembali bergegas karena masih ada beberapa tempat yang akan kunjungi dalam rangkaian ziarah dan City Tour hari itu di antaranya mengunjungi Tembok Ratapan, Kota Betlehem dan menuju Al-Khalil  Hebron untuk shalat di Masjid Nabi Ibrahim. Konon di dinding masjid itu masih tersisa bekas-bekas  peluru karena serangan membabi buta seorang Zionist Israel saat umat muslim sedang melakukan shalat subuh. Ingin tahu seperti apa Masjid dan Makam Nabi Ibrahim, Nabi Ishak dan Siti Sarah? Kenapa pula Israel membangun tembok tinggi laksana penjara yang membatasi antara Jerussalem dan Betlehem? Aku akan mengulasnya di tulisan berikutnya…

 

*Sumber foto : Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun