Aku merasa seperti di berkati malam itu. Bulan yg hampir purnama bercincin corona sesekali tertutup awan tipis menerangi kawasan Badega Gunung Parang, dari kejauhan panorama waduk Jatiluhur dan Gunung Ciwalea yg mengintip dari celah-celah  kabut tipis, lampu-lampu di perkampungan dan sayup-sayup  terdengar degung sunda dari salah satu rumah yg sepertinya sedang melaksanakan hajatan adalah sebuah lukisan Ilahi yang sangat indah. Tak ada angin, apalagi hujan. Ditemani secangkir teh jahe hangat dan sebungkus biskuit dan coklat, aku melewatkan 'Moon Light Dinner'. Karena signal handphone sangat bagus, aku masih sempat berkomunikasi dengan JKers di bawah, menelepon Ibu di rumah dan tentunya update status!
Menjelang pukul 10 malam, aku bersiap2 tidur. Sleeping bag aku keluarkan, mencoba meluruskan badan di atas rumput yang luasnya tak seberapa itu. namun karena Sleeping Bag dan rumput yang licin sering 'menyeretku' ke bibir tebing dan tentunya membuat 'selangkangan' yg terlilit harness menjadi sakit. aku mencoba memejamkan mata dan tidur, namun lagi-lagi aku harus terseret ke bibir tebing. akhirnya aku memutuskan untuk tidur di hammock walaupun harus tidur duduk. Sejujurnya aku bukan termasuk orang yang 'pelor' atau nempel molor. untuk tidur aku harus PW. tapi bukankah itu zona nyaman? sudahlah, entar juga klo ngantuk banget pasti tidur. Lagi-lagi aku merasa diberkati, hanya membutuhkan beberapa menit setelah terduduk di hammock, aku sudah melayang ke alam mimpi. oh ya, 1 lagi yang perlu aku info. Konon nehh...kononn.. menurut beberapa orang tua di kampung Cihuni, Gunung Parang ini termasuk area yg keramat. Konon di tempat ini dulu pernah terjadi pertempuran antara prajurit Kompeni Belanda dengan pasukan prabu Siliwangi karena Gunung Parang ini dijadikan tempat penyimpanan 'harta' kerajaan dan dari pertempuran itu banyak prajurit berguguran dari kedua belah pihak.  Tapi Alhamdulillah, aku senantiasa di lindungi-NYA dan tak mendapat 'hal-hal- apapun hingga terbangun saat suara azan subuh berkumandang. Tidurku pun sangat nyenyak tanpa gangguan apapun, bahkan aku merasakan kesegaran saat harus beranjak dari hammock dan menuju ke 'dapur' untuk berwudhu.
Seusai shalat subuh sambil duduk, aku memasak air di 'dapur' dengan menggunakan nesting dan kompor gas. Beberapa keping biskuit menjadi teman minum teh yang terasa sangat nikmat sambil menikmati pemandangan di bawah dan dari kejauhan rangkaian kabut tipis masih menyelimuti kampung parang, waduk jatiluhur dan sekitarnya. Aku sudah sering menikmati pemandangan pagi dari ketinggian, namun pengalaman kali ini terasa sangat berbeda. Terduduk di atas sebuah hammock yang tergantung dari ketinggian 300 meter tanpa siapa-siapa di pinggir tebing, hamparan pemandangan indah di depan mata, arghhh aku sampai bingung melukiskannya. Aktifitas ber tongsis ria kembali aku lanjutkan, tak ada aktifitas lain yang bisa aku lakukan. Buku bacaan tak bawa, mau putar lagu di hp sayang battery yg bisa di gunakan di saat-saat emergency.
Jam 9 pagi, mang Ngkos tiba di Pitch 3 dengan membawa sesuatu yang sangat aku tunggu-tunggu, sarapan pagi. Sejak semalam aku belum makan nasi dan hanya mengganjal perut dengan biskuit dan coklat. Aku  melahap sarapan dengan rakusnya... laper cuyyy... Sarapan kelar, segelas kopi dan susu jahe sudah terseruput, kami segera bersiap-siap melanjutkan 'perjalanan' yg rencananya akan di tuntaskan hingga pitch 6.Namun karena keterbatasan tali dan hari juga sudah mulai sore, kami hanya bisa ber'spiderman' hingga di pitch 4. Selanjutnya kembali ke pitch 3 dan mengemasi semua barang dan perkakas dan mulai turun ke basecamp untuk selanjutnya pulang ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H