Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Antara Jakarta dan Myanmar

25 September 2014   04:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:37 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_325417" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi) Welcome Gate in Yangon, Myanmar"][/caption]

Menulis 1 artikel catatan harian di 3 negara berbeda dalam 1 hari. Berikut catatan perjalanku hari ini mulai dari meninggalkan rumah di Cibubur, Jakarta hingga tiba di Hotel tempat aku akan menetap selama 2 – 3 bulan di Yangon, Myanmar.

Soekarno Hatta International Airport Jakarta Indonesia, 24 September 2014 06.51 am

Artikel ini aku tulis di ruang tunggu terminal D2 sambil menunggu flight SQ 953 yang akan membawaku terbang ke Changi International Airport di Singapura pada jam 07.55 am. Hari ini adalah hari penting dan akan menjadi catatan sejarah tersendiri dalam hidupku karena untuk pertama kalinya aku akan keluar negeri untuk bekerja. Anggap saja sebagai TKI. Selama ini keluar negeri hanya untuk traveling dan kalaupun untuk bekerja biasanya untuk training, workshop dan meeting yang waktunya tidak pernah lebih dari seminggu. Kali ini aku akan ke Myanmar dan akan tinggal di sana selama 2 – 3 bulan dan bersama-sama dengan team local di sana untuk menjalankan kegiatan operasional.

Waktu menunjukkan pukul 4 pagi saat alarm membangunkanku untuk bersiap-siap. Sebenarnya pesawat Singapore Airlines yang akan aku tumpangi baru berangkat jam 9.20 pagi namun mengingat kondisi macet di jalan ke airport, aku memilih untuk berangkat lebih awal. Lebih baik menunggu di airport lebih lama dibanding harus stress karena macet dan kuatir ketinggalan pesawat.

Jam 5 teng, taxi kuning yang aku pesan sudah menjemput dan aku segera berpamitan ke Ibunda. Lagi-lagi terselip rasa haru karena untuk kesekian kalinya aku akan meninggalkan beliau untuk waktu yang cukup lama. Beliau lebih memilih untuk tinggal seorang diri di Jakarta, “biar bisa fokus ibadah,” kata beliau. Aku hanya bisa menyetujui walaupun terbersit sedikit keresahan meninggalkan ibuku yang sudah berusia hampir 70 tahun seorang diri. Tapi aku yakin Allah akan menjaga beliau dan pastinya aku akan selalu menelepon beliau.

Hari masih gelap saat aku mulai menyusuri jalan-jalan tol di Jakarta di iringi oleh ocehan supir taxi yang mengajakku berdiskusi tentang banyak hal.  Di awalnya hanya mengangkat topik tentang kondisi kemacetan jalan-jalan di Jakarta yang semakin parah hingga melebar ke masalah politik yang aku tidak mengerti hingga ujung-ujungnya curhat soal dia yang dari kemarin belum mendapatkan setoran, dan lain-lain sebagainya.  Sesekali aku menimpali untuk menunjukkan respect terhadap sang supir, selebihnya aku lebih banyak diam. Aku sudah terbiasa dengan hal dimana sopir taxi mengajak penumpangnya ngobrol agar tidak mengantuk atau tidak bosan menempuh perjalanan panjang ke airport. Namun pikiranku lebih terfokus ke hal-hal yang akan aku hadapi di Myanmar.

Ini kali pertama aku ke Myanmar, sebuah negara yang awalnya bernama Burma. Walau masih berada di Asia Tenggara, Burma atau Myanmar memiliki karakter yang sedikit ‘unik’. Mulai dari situasi politik serta issue Rohingya yang menguak ke dunia international menjadikan beberapa negara mengeluarkan Travel Warning untuk bepergian ke negeri Aung San Su Kyii itu.

Setiba di check in counter saat waktu menunjukkan pukul 05.45, beberapa penumpang terlihat antri di counter beberapa airlines. Disambut senyum hangat sang mbak yang bertugas di check in counter Singapore Airlines, aku di minta menunjukkan passport dan invitation letter. Untuk ke Myanmar, kita memerlukan Visa on Arrival baik saat bepergian untuk berlibur atau jalan-jalan ataupun untuk keperluan bisnis. Untuk Voa Entry Visa, akan diberikan masa selama 28 hari dengan membayar biaya visa USD 40 sementara untuk VoA keperluan bisnis, akan diberikan waktu 70 hari dengan membayar USD 50. Perlu diperhatikan bahwa pembayaran dengan USD harus menggunakan bank note atau uang yang rapi dan bersih,tidak boleh lecek atau ada bekas lipatan. Tahunnya pun di batasi, imigrasi Myanmar menerima USD paling lama uang keluaran 2006. Khusus untuk keperluan bisnis maka dibutuhkan surat undangan (Invitation Letter) dan surat keterangan dari pemerintah Myanmar tentang keberadaan perusahaan yang mengundang. Kedua surat itu sudah disiapkan kantor dan aku menunjukkannya ke petugas check in. Tak lupa juga harus mengisi form Business Visa On Arrival yang bisa di download dari web.

Seorang petugas lain di panggil untuk foto copy dokumen-dokumen itu lalu si mbak menawarkan apakah aku berminat untuk pindah flight yang sejam lebih awal dari flight yang sudah aku booked. Tentu saja aku menyambut baik tawaran itu karena aku akan memiliki waktu lebih banyak untuk transit di Changi Airport, Singapura. Waktu transit itu bisa aku gunakan untuk berjalan-jalan di changi Airport dimana terakhir kali ke sana adalah 2 tahun yang lalu.

[caption id="attachment_325419" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi) Antrian di Imigrasi"]

1411569152707923430
1411569152707923430
[/caption]

Selepas dari check in counter, aku menuju ke bagian imigrasi. Antrian sudah panjang karena saat itu hanya 1 counter untuk orang Indonesia yang di buka, sementara untuk foreigner dibuka 3 counter. Karena melihat antrian di bagian Indonesia sudah memanjang, seorang petugas imigrasi mengarahkan kami untuk sebagian pindah ke bagian foreigner termasuk aku. Tentu saja hal itu memperlambat proses imigrasi kami yang orang lokal karena proses pemeriksaan keluar untuk orang asing memakan waktu lebih lama. Setelah antri sekitar 20 menit, aku keluar dari bagian imigrasi menuju ruang tunggu di Gate D2. Setiba di sana, pintu ruang tunggu belum di buka sementara waktu boarding yang tertera di boarding pass tersisa 20 menit lagi. Berselang 10 menit kemudian, pintu ruang tunggu di buka dan aku mulai mengeluarkan laptop dan menuliskan reportase ini hingga terdengar pengumuman  boarding saat jam menunjukkan pukul 07.30.

Inflight antara Jakarta – Singapura, 24 September 2014, Jam 08.30 am Jakarta Time

Aku sudah berada di dalam pesawat Boeing 777-300 milik maskapai Singapore Airlines dan seperti biasa aku duduk di sisi jendela. Kembali pikiranku menerawang ke beberapa hal di antaranya hal-hal yang aku akan hadapi selama di Myanmar, apakah aku akan betah berada di sana, bagaimana aku harus beradaptasi dengan kondisi lokal yang aku sama sekali belum mendapatkan gambaran apapun. Sejujurnya penugasan ke Myanmar ini termasuk mendadak jadi aku hanya memiliki waktu singkat untuk mencari tahu kondisi di sana. Aku masih sempat browsing dan menonton beberapa video di youtube termasuk beberapa video yang sedikit ‘seram’ tentang pertikaian yang mengatas namakan agama, begitu juga dengan beberapa berita mengenai junta militer Myanmar dan kondisi demokrasi serta politik  yang mendapat kecaman dari berbagai pihak Internasional.

Termakan omongan, mungkin itulah yang cocok untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Beberapa waktu lalu setelah membaca buku petualangan karya agustinus wibowo yang menceritakan pengalaman dia selama mengembara di berbagai Negara di Asia salah satunya Afghanistan, aku pernah berkata bahwa, “suatu hari aku ingin berkelana ke sebuah negara yang sedang di landa konflik, dan kalaupun harus bekerja di sana aku bersedia”. Ucapan adalah doa, ungkapan yang mungkin sering terdengar dan inilah yang aku alami  saat ini, jadi…silahkan tinggal di daerah konflik!  Ternyata… eh..sebentar yaa..seorang pramugari yang lumayan imut datang menawarkan inflight meal. Kebetulan aku belum sarapan dari pagi.. Aku sarapan dulu..entar lanjut lagi… kalo ingat. Hehehe

[caption id="attachment_325420" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi) Jakarta - Singapore"]

14115692291967189705
14115692291967189705
[/caption]

Sarapan dah kelar, dan siap-siap ‘curhat’ lagi. Sampai dimana tadi? Oh ya soal Myanmar. Ada satu hal yang paling menjadi ‘kekuatiran’ aku yakni soal makanan. Konon kabarnya disana agak sulit menemukan makanan halal. Begitu informasi yang aku dapat dari salah seorang rekan kantor yang sudah terlebih dahulu berada di sana. Kalau hanya tinggal selama 1 atau 2 minggu sebenarnya aku masih bisa bertahan untuk makan apa adanya, namun jika 2-3 bulan? Apalagi aku tergolong yang agak sedikit ‘riweuh’ dalam soal makanan. Bukannya milih-milih, tapi lidah dan tenggorokanku sudah sangat nyaman dengan masakan khas Indonesia dan Bugis. Tapi, bukankah untuk meraih sukses harus berani keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang baru? Hmmmm…. *garuk-garuk kepala yang gak gatal.. Ok lanjut..

[caption id="attachment_325424" align="aligncenter" width="427" caption="(Doc.Pribadi) Inflight Article"]

14115695161919250744
14115695161919250744
[/caption]

Baru mau lanjut nulis saat sebuah pengumuman berkumandang dan dibarengi dengan guncangan ‘kecil’. Turbulensi sesaat karena cuaca yang kurang baik. Flight attendant meminta aku menutup laptop dan melipat meja, sesuai prosedur standard penerbangan. Dari layar TV yang ada di depanku menunjukkan jika waktu tempuh ke Singapura tersisa 30 menit lagi. Artinya beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Changi Singapura.

Tepat pukul 10.30 waktu setempat, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Changi. Tak ada agenda khusus aku selama di sini karena hanya stop over selama 3 jam dan akan berangkat lagi menggunakan pesawat Silk Air di jam 01.30 pm waktu singapura. Selama di changi aku hanya akan berjalan-jalan melihat-lihat Duty Free Shop yang berjejer serta tak lupa update social media dan tentunya, menulis catatan harian ini. Sekarang jam 12.11, waktunya makan siang. Aku akan cari restoran dulu, ceritanya nanti di lanjut lagi saat udah in flight ke Yangon.

Inflight antara Singapura dan Yangon, Myanmar,24 September 2014 jam 15.11 Singapore Time

Hujan gerimis mengiringi kepergian pesawat MI 518 yang aku tumpangi meninggalkan Bandara Changi di Singapura di jam 14.20 sesuai jadwal yang tertera di boarding pass. Sesaat setelah lampu tanda kenakan sabuk pengaman padam, pramugari Silk Air mulai bertugas membagikan hot towel kepada seluruh penumpang. Tak lama berselang pramugari lainnya membagikan mix nuts dan air jeruk segar. Beberapa penumpang tampak sedang tertidur sambil membungkus diri dengan selimut yang tersedia di setiap kursi namun ada pula yang  menggunakan kesempatan ke rest room,serta juga mengisi declaration form yang sudah di bagikan sesaat sebelum boarding. Aku sendiri yang sibuk dengan laptop menulis catatan harian ini. Sesekali pandangan aku arahkan ke luar jendela dimana gumpakan awan putih dan menyilaukan mata berpadu dengan biru langit dan laut yang ada di bawah sana.  Tak lama berselang, pramugari-pramugari Silk Air yang semua berwajah oriental kembali membagikan inflight meal.

Pikiranku kembali ke Myanmar. Seperti apa gerangan negeri seribu pagoda itu?  Seorang teman berkomentar bahwa ke Myanmar sama saja dengan mengunjungi Indonesia beberapa puluh puluh tahun yang lalu. Beberapa artikel yang aku baca di internet juga berkomentar yang sama bahwa Myanmar di tahun 2013 yang lalu disebutkan sebagai negeri yang belum terlalu tersentuh teknologi. Satu hal yang juga turut mengganggu pikiranku bahwa konon di Myanmar hingga saat ini belum bisa menarik uang dari ATM meskipun berlogo atm bersama standard international. Apakah benar demikian? Jika iya berarti aku harus pintar-pintar mengatur keuangan agar tidak menemui kendala sebelum waktu kepulangan ke Jakarta. Pulang? Nyampe aja belum, dah mikirin pulang. “Sudahlah, enjoy aja. Bukankah ini sebuah tantangan dan bisa merupakan petualangan?” begitu bisik hati kecilku. Catatan ini akan aku ‘pause’ dulu karena akan mengikuti jejak langkah para penumpang lain untuk tidur!

[caption id="attachment_325421" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi) Myanmar dari udara"]

1411569327960362064
1411569327960362064
[/caption]

Aku terbangun saat pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat di Yangon International Airport berkumandang. Persiapan landing segera dilakukan dan aku melihat ke bawah. Yangon ternyata memiliki daerah datar yang sangat luas diselingi liukan sungai-sungai yang dialiri air berwarna kecoklatan. Segera aku mengambil kamera dan mengabadikan pemandangan Myanmar dari udara. Tampaknya hujan baru saja berhenti saat kami mendarat, terlihat dari banyaknya genangan air di apron bandara.

Yangon International Airport, Myanmar, 24 September Jam 15.45 Yangon Time

Segera kami turun setelah pesawat parkir sempurna dan segera menuju bagian Imigrasi. Seperti biasa untuk Negara yang pertama kali di datangi, pastinya agak deg-degan khususnya dalam mengurus VoA. Maish teringat bayangan pengurusan VoA di Kalkuta yang sangat njelimet beberapa waktu lalu ditambha dengan pemeriksaan di airport yang sangat ketat dan cenderung berlebihan.

[caption id="attachment_325422" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi) Yangon International Airport"]

14115694032129544969
14115694032129544969
[/caption]

Namun ternyata dugaanku meleset jauh. Proses mendapatkan VoA di Myanmar sangat cepat. Tak ada pertanyaan apapun dari pihak petugas  imigrasi kecuali meminta pembayaran sebesar USD 50, dan dalam hitungan detik, sebuah lembaran VoA pun tertempel di paspor. Selanjutnya aku menuju ke bagian imigrasi lainnya untuk pemeriksaan passport. Seorang wanita berwajah mirip orang dayak yang melayaniku dan lagi-lagi dalam hitungan detik, aku diminta pasang tampang buat di foto dan sebuah cap tertancap di pasporku. Malah sempat GR dengan ucapan ‘sang mbak’ saat dia mengembalikan pasportku, “You have a very sweet smile” haahaaaayyyy….

Segera aku menuju pengambilan bagasi dan berjalan menuju X-Ray untuk pemeriksaan bagasi. Hanya ada seorang wanita di sana dan saat mengambil bagasi dari mesin X-Ray hanya menanyakan lembar clearance form, setelahnya, Min ga la ba (Welcome) to Myanmar…

Keluar dari airport, terlihat seseorang mengacungkan selembar kertas bertuliskan namaku. Dialah Joshua, supir yang ditugaskan kantor untuk menjemputku dengan mobil alphard-nya. Sebelum menuju ke hotel, aku di bawa berkeliling melihat-lihat kondisi kota Yangon. Ada yang sedikit aneh dan lucu. Beberapa lelaki yang berada di pinggir jalan ataupun sedang di atas angkutan hampir semua mengenakan sarung. Itulah Longyi, sarung khas Myanmar. Bagaimana lucunya lelaki bersarung serta bagaimana pula kondisi kota Myanmar? Nantikan terus reportasenya langsung dari Myanmar hingga 2 bulan ke depan…

[caption id="attachment_325423" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi)Yangon International  Airport"]

14115694581638748324
14115694581638748324
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun