Namun ternyata dugaanku meleset jauh. Proses mendapatkan VoA di Myanmar sangat cepat. Tak ada pertanyaan apapun dari pihak petugas imigrasi kecuali meminta pembayaran sebesar USD 50, dan dalam hitungan detik, sebuah lembaran VoA pun tertempel di paspor. Selanjutnya aku menuju ke bagian imigrasi lainnya untuk pemeriksaan passport. Seorang wanita berwajah mirip orang dayak yang melayaniku dan lagi-lagi dalam hitungan detik, aku diminta pasang tampang buat di foto dan sebuah cap tertancap di pasporku. Malah sempat GR dengan ucapan ‘sang mbak’ saat dia mengembalikan pasportku, “You have a very sweet smile” haahaaaayyyy….
Segera aku menuju pengambilan bagasi dan berjalan menuju X-Ray untuk pemeriksaan bagasi. Hanya ada seorang wanita di sana dan saat mengambil bagasi dari mesin X-Ray hanya menanyakan lembar clearance form, setelahnya, Min ga la ba (Welcome) to Myanmar…
Keluar dari airport, terlihat seseorang mengacungkan selembar kertas bertuliskan namaku. Dialah Joshua, supir yang ditugaskan kantor untuk menjemputku dengan mobil alphard-nya. Sebelum menuju ke hotel, aku di bawa berkeliling melihat-lihat kondisi kota Yangon. Ada yang sedikit aneh dan lucu. Beberapa lelaki yang berada di pinggir jalan ataupun sedang di atas angkutan hampir semua mengenakan sarung. Itulah Longyi, sarung khas Myanmar. Bagaimana lucunya lelaki bersarung serta bagaimana pula kondisi kota Myanmar? Nantikan terus reportasenya langsung dari Myanmar hingga 2 bulan ke depan…
[caption id="attachment_325423" align="aligncenter" width="640" caption="(Doc.Pribadi)Yangon International Airport"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H