Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyongsong Fajar di Kota Kuno Bagan, Myanmar

12 Januari 2015   22:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_345944" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by RH)Sunrise di Bagan"][/caption]

Weekend kemarin aku menyempatkan diri untuk menghabiskannya di Bagan, tujuan utama wisata para turis jika berkunjung ke Myanmar. Aku baru bisa mendapatkan waktu lowong setelah lebih dari 3 bulan aku bekerja di negeri Golden Land ini.

Mengingat bulan Januari adalah peak season, aku sudah melakukan booking bus dan hotel seminggu sebelumnya. Tiket Pergi Pulang Yangon – Bagan – Yangon seharga 37,000 MMK (Myanmar Kyats) atau setara dengan Rp 400 ribu sudah di tangan, begitu juga dengan reservasi hotel seharga USD 25 per malam di View Point Inn yang aku book melalui media reservasi online sudah confirmed.

[caption id="attachment_345945" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by RH) Aung Mingalar Bus Station - Yangon"]

14210508581470100667
14210508581470100667
[/caption]

Jam menunjukkan pukul 6 sore saat aku meninggalkan tempat kerjaku di kawasan Industry Mingaladon menuju ke Aung Mingalar Highway Bus Station yang letaknya tak begitu jauh. Aku tiba di pool bus dan di sana sudah berkumpul banyak turis mancanegara yang juga akan melewatkan akhir pekan di Bagan, sebuah kota kuno di Myanmar yang digadang-gadang akan masuk dalam salah satu di daftar World Heritage – nya PBB.

[caption id="attachment_345946" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by RH)Aung Mingalar Bus Station - Yangon"]

14210509061640030571
14210509061640030571
[/caption]

Tepat pukul 8 malam, bus yang berisi semua turis mancanegara mulai bergerak meninggalkan stasiun. Tak ada yang bisa aku ceritakan selama perjalanan karena sepanjang jalan hanya kegelapan malam yang sesekali ditemani cahaya rembulan menyinari pemandangan di kiri-kanan jalan. Beberapa penumpang sudah langsung terlelap. Aku yang berusaha untuk tidur tetap tak mampu walau hanya mencoba memejamkan mata. Sejujurnya, aku agak excited dengan hal-hal yang akan aku temui nanti di Bagan. Satu hal yang mengkhawatirkanku adalah cuaca. Beberapa hari sebelum keberangkatanku, Yangon yang selama ini cerah ceria dengan langit biru –nya mendadak jadi sering mendung bahkan pernah diguyur hujan. Andai kondisi itu juga terjadi di Bagan, maka agak sulit untuk mendapatkan view yang indah khususnya saat sunset dan sunrise. Tapi sudahlah... let see…

Pukul 11.30 malam, bus berhenti di rest area di jalan toll dan semua penumpang dipersilahkan untuk turun makan malam. Meskipun bus yang aku tumpangi adalah bus VIP, namun hanya disediakan sekaleng soft drink dan snack kecil. Para penumpang diberi waktu 30 menit untuk makan malam dan bus akan kembali melanjutkan perjalanan.

Jarum jam menunjukkan pukul 4.45 pagi saat bus mulai memasuki terminal bus di Bagan. Para penumpang segera berkemas-kemas untuk turun dari bus, namun di depan bus sudah menunggu banyak orang yang tampaknya seperti supir taksi. Mereka hanya berdiri menunggu dan tak ada satu pun yang berani naik ke atas bus. Sepertinya memang sudah menjadi kesepakatan bahwa para pengemudi taksi atau kendaraan lainnya bahwa mereka hanya akan menawarkan kendaraan mereka saat penumpang sudah turun dari bus. Aku yang duduk paling depan turun pertama dan benar saja, sesaat aku melangkah keluar dari bus, mereka langsung menyerbuku dan menawarkan kendaraan baik itu taksi, rickshaw (bentor) maupun horse car (delman).

Aku yang masih belum full loading dengan sempurna karena habis terlelap sebentar hanya bisa menolak ajakan mereka dengan senyum. Tak tanggung-tanggung, mereka menawarkan harga transport dengan sadis dan nyaris tanpa perasaan. Misalnya saja ada yang menawarkan bendi-nya dengan janji akan membawaku melihat sunrise di Old Bagan dan kemudian check in ke hotel dengan biaya 25.000 kyats (hampir 300 ribu rupiah). Sekedar info saja bahwa jarak dari terminal ke hotel view point inn tempatku menginap hanya 6 km, dan jarak dari hotel ke Old Bagan hanya 7 km jadi totalnya hanya 13 km dan dia menawarkan harga yang lebih mahal dari pada aku naik bus VIP 9 jam dari Yangon ke Bagan. Sadis kan?

Akhirnya bersama dengan turis lain yang berasal dari Ukraina, Korea, Italia, dan Jerman, kami memilih untuk beristirahat sejenak di warung kopi di dekat terminal. Beberapa supir taksi masih mencoba membujuk kami dengan harga yang masih tanpa perasaan meski sudah mulai turun. Mereka hanya diam saja saat kami mengatakan bahwa kami akan menunggu hingga pagi agar bisa dapat harga yang murah, meski itu hanya trik kami agar tidak diikuti terus. Saat sedang menikmati teh myanmar hangat yang rasanya sangat lezat, seorang turis dari Irlandia datang kepada kami dan mengajak kami bergabung dengan grupnya yang mendapatkan harga 2000 kyats per orang dengan naik mobil Ferry (di Indonesia sejenis angkot mobil Hiace yang naiknya dari belakang tapi tetap pake atap. Harga itu wajar dan kami segera membayar minuman dan segera bergabung dengan mereka. Itulah indahnya sebuah perjalanan, terkadang kami mendapatkan sebuah surprise dan keberuntungan hanya dengan bersabar beberapa saat. Dan di tempat wisata seperti ini, tak ada lagi batasan nationality, agama, dan embel-embel lainnya. Yang ada adalah kita adalah 1 sesama pejalan.

Beberapa saat setelah meninggalkan terminal, kami berhenti di sebuah pos yang ternyata kami para turis atau foreigner harus membayar entrance fee sebesar USD 20 atau jika mau bayar menggunakan currency local sebesar 21,000 kyats. Itu semacam tiket terusan dan saat memasuki semua kawasan wisata di seluruh Bagan, tak perlu lagi membayar tiket. Setelah kami ber-10 selesai membayar entrance fee, mobil Ferry kembali melanjutkan perjalanan dalam dinginnya subuh yang aku perkirakan berada di 15 derajat celcius karena dinginnya sangat menusuk tulang.

[caption id="attachment_345947" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by RH) Bersepeda di sela-sela Sunrise di Bagan"]

14210509681852625123
14210509681852625123
[/caption]

Tak lama berselang, mobil tiba di depan View Point Inn, hotel tempatku menginap. Ternyata aku 1 hotel dengan Hsin, orang Korea Selatan yang berencana keliling ASEAN selama 1 bulan sebelum kembali ke kampung halamannya di Incheon. Kami belum bisa check in karena check in time pukul 11.30. Kami lalu menitipkan ransel dan segera menyewa sepeda untuk menuju ke Old Bagan, di mana kami bisa menyaksikan sunrise dari salah satu pagoda yang letaknya cukup tinggi. Waktu sudah menunjukkan pukul 5.30 pagi namun hari masih gelap. Menurut petugas resepsionis, sunrise di Bagan sekitar jam 6 atau 6.30. Kami segera mengayuh sepeda di kegelapan dan dinginnya subuh. Kami tak tahu harus ke mana, patokan kami hanyalah tempat di mana banyak orang dan terdapat pagoda yang tinggi.

Di ufuk timur sudah mulai tanda kemerahan pertanda sang surya akan segera keluar dari peraduannya. Aku lalu berinisiatif untuk berbelok ke salah satu pagoda yang cukup besar meskipun kosong. Setelah memarkir sepeda, aku dan Hsin segera masuk ke dalam pagoda untuk mencari tangga menuju ke puncak pagoda. Namun hingga kami berputar-putar beberapa kali, kami tak menemukannya. Beberapa orang turis asal Taiwan juga bergabung bersama kami. Dengan bantuan senter yang dia bawa, kami kembali mencari pintu akses menuju ke puncak pagoda namun tak berhasil. Kami menemukan sebuah pintu namun di gembok. Akhirnya dengan rasa kecewa, aku keluar pagoda. Hari sudah mulai terang meskipun matahari belum terlihat karena masih tertutup awan.

[caption id="attachment_345950" align="aligncenter" width="427" caption="(Photo by RH) Sepeda dan Pagoda Gu Ni"]

14210512561360525378
14210512561360525378
[/caption]

Aku baru akan mengambil sepeda saat aku melihat sebuah tangga bersandar di dinding pagar yang tingginya sekitar 4 meter. Ahaaa, lumayan tinggi untuk dapat melihat sunrise. Akhirnya aku menaiki tangga dan menyusuri punggung pagar diikuti oleh Hsin di belakangku. Turis asal Taiwan sudah tak terlihat sepertinya mereka memutuskan untuk mencari pagoda lain.

[caption id="attachment_345951" align="aligncenter" width="640" caption="(Photo by RH) Tangga bambu untuk melihat sunrise"]

14210513061565038381
14210513061565038381
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun