Kemajuan suatu bangsa negara tidak terlepas dari peran seluruh masyarakat Indonesia. Setiap warga negara dapat berkontribusi baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, politik, kesehatan dan lain sebagainya. Pada artikel ini fokus pada aspek politik. Ada apa yang menyebabkan Indonesia masih saja sulit berkembang? Yaa, ada siluman yang masih saja menggerogotinya.
Siluman ini bernama oligarki, siluman dengan purwarupa menyerupai tikus, monyet dan babi? Mengapa bisa demikian? Purwarupa tersebut pertama kali dibuat oleh seniman bernama Vauzi Gunawan.
 Oligarki yang selalu memainkan perannya dengan berkelompok digambarkan seperti monyet, dengan sifat keserakahan seperti babi, dan dapat berperan mengambil apa saja seperti tikus. Seni karya ini kemudian dipresentasikan menjadi bentuk topeng dengan mulut besar dengan otak yang kecil sehingga tercipta nya ketiga hewan tersebut. Istilah oligarki telah ada dari dulu dan dipopulerkan oleh Jeffrey A. Winters dengan karya bukunya yang berjudul "Oligarchy"
Oligarki menurut Jeffrey A. Winters, oligarki muncul dari ketidaksetaraan kekayaaan kekuasaan secara ekstrim. hal ini memicu ketidaksetaraan dibidang politik. Oligarki dalam yang dimaksud pada artikel ini yaitu politik pertambangan kekayaan material, jadi seseorang bisa mendapatkan kekuasaan apabila memiliki kekayaan material.
 Oligarki dapat menguasai perpolitikan, hukum dan aspek lainnya sebab telah memiliki sumber kekuasaan yakni: hak politik formal, posisi jabatan strategis (baik di pemerintahan maupun non pemerintah), kuasa untuk melakukan kekerasan,  pengorganisasian sosial dan kekayaan material.
 Di berbagai kasus oligarki dapat memainkan perannya melalui politik elit, dimana politik elit ini diberikan dana kampanye yang cukup besar dalam memenangkan pemilihan umum, dan politik elit memberikan keuntungan kepada oligarki untuk memuluskan bisnis yang akan dijalani di Indonesia, salah satunya adalah pertambangan. Lantas apakah oligarki pertambangan dapat berpengaruh juga kepada kesejahteraan bangsa Indonesia?
Terjadinya proses oligarki pertambangan sudah terjadi sejak lama. Mulai masif dibicarakan banyak orang pada tahun 2012-2013 ketika diberlakukannya pemilihan umum secara langsung. Proses transaksi pertambangan dapat dilihat perubahannya saat tahun-tahun pilkada (pra-saat-pasca).
 Penelitian yang telah dilakukan Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) di wilayah wilayah yang kaya akan sumber daya alam selama 2009-2014 memiliki tren yang sama di semua wilayah (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera, dan lain sebagainya) Contoh di Kabupaten Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang telah ditangkap KPK, waktu dia maju sebagai Bupati, ijin tambang tahun 2009 sekitar 93 ijin tambang.
 Ditahun pilkada saat Ritya menggantikan ayahnya Syaukani Hasan Rais yang juga pernah menjadi Bupati Kutai Kartanegara, langsung keluar 191 ijin baru terkait pertambangan. satu tahun setelah pilkada bertambah 100 ijin baru lagi terkait pertambangan.
Jika skala nya dinaikkan menjadi level provinsi, di Kalimantan Timur sudah tiga kali pergantian gubernur. Pada tahun 2008 terdapat 500 ijin tambang. Lima tahun berselang, tahun 2013 bertambah menjadi 1100 ijin, dan tahun 2018 menjadi 1400 ijin pertambangan. Sudah menjadi rahasia umum, bisnis pertambangan, perkebunan, kehutanan hingga properti selalu masif saat momen pilkada. kenapa hal ini bisa terjadi?. Setidaknya ada empat aspek yang dapat mempengaruhi masifnya oligarki pertambangan yakni sebagai berikut.
Pertama, UU No. 04 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberikan perijinan sampai ke tingkat kabupaten/kota. tujuannya bagus supaya desentralisasi, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dikelola mandiri oleh daerah. Namun pada prakteknya, kepala daerah yang sudah mendapatkan kewenangan, berlomba lomba menerbitkan ijin. di satu sisi, dihadapkan dengan sistem politik Indonesia yang sangat mahal.