Sepuluh tahun yang lalu kakekku pernah bercerita tentang perjalanan naik hajinya. Beliau berhaji pada tahun 1969 yang waktu itu masih belum ada pesawat terbang, jadinya alat angkut yang paling ampuh adalah kapal laut yang jadul. Perjalanan dari Jakarta ke palabuhan Jeddah memakan waktu kurang lebih dua bulan, dapat terbayangkan lamanya dan lelahnya perjalanan itu.
Alhamdulillah, berkat panggilannya pengalaman kakekku itu dapat aku rasakan di negeri Mesir ini, berkat rahmatnya aku bisa menunaikan ibadah haji. Karena menginginkan biaya yang sangat murah aku dan kebanyakan teman-teman mahasiswa lainnya berinisiatif menggunakan kapal laut bukan pesawat terbang yang memang menjadi kendaraan antar negara masa kini.
Disinilah awal perjuangan dan pengorbanan itu, suatu perjalanan yang sangat melelahkan bahkan bisa dikatakan perjalanan yang terjal menuju rumah Allah. Tanggal 13 november 2009 akupun berangakat menuju tanah suci. Perjalanan ini memakan waktu sekitar lima hari lima malam, mulai dari perjalan bus dari Kairo ke pelabuhan Safaga di propinsi Red Sea, perjalanan dari pelabuhan Safaga sampai pelabuhan Jeddah, setelah itu perjalanan dari Jeddah ke penginapan di Makkah.
Perjalanan melelahkan yang sempat diceritakan oleh kakekku itu ternyata aku betul-betul mengalaminya, lebih-lebih aku bisa merasakan apa yang pernah didawuhkan oleh Raslullah Saw “ yang lebih utama daripada jihad adalah hajji mabrur “. Dapat terbayangkan di musim dingin yang menusuk tulang sumsum aku terombang-ambing dalam lautan lepas selama dua hari dua malam, sungguh suatu perjalanan yang sangat menguras tenaga dan kesabaran.
Namun yang namanya tamu Allah pasti akan selalu dilindungi olehnya, ia pasti akan selalu diberi kemudahan-kemudahan yang tidak akan penah kita ketahui. Suatu waktu karena sudah hampir mendekati miqot makani maka aku harus segera bersih-bersih dan mandi ihrom. Aku dan kebanyakan jamaah mahasiswa menggunakan tiket fullman jadi apa boleh buat untuk mandipun harus antri menunggu cukup lama. Waktu miqot tinggal sedikit lagi sedangkan kamar mandi masih penuh, tanpa disangka-sangka pertolongan-Nya itu datang melalui orang Mesir yang baik hati. Aku tidak mengenali orang Mesir itu begitupun sebaliknya. Tanpa berbasa-basa ia mengajak aku ke kamarnya (karena orang mesir ini memegang tiket clas A jadi ia mempunyai kamar), “ fi eh ya ammu?” “ada apa pak?”, tanyaku, ia tidak menjawabnya ia hanya terus mengajakku ke kamarnya, sesudah di kamarnya “ inta hatastahim faddhal” “kamu mau mandi silakan pakai aja” katanya. Tidak akan aku ceritakan semua itu yang jelas itu salah satu pertolongan-Nya dari sekian banyak pertolongan yang datang kepadaku.
Sesudah itu aku mengenakan pakaian ihram yang menurutku pakaian tamsil dari sebuah ketaqwaan, aku sebut begitu karena ketika orang berihram baik itu pejabat, pengusaha, rakyat kecil atau mahasiswa tak punya sepertiku pun akan memakai pakaian yang sama dari kualitas dan bahan yang sama. Jadi tak ada jendral tak ada kopral, tak ada penguasa tak ada rakyat dalam ketaqwaan semuanya sama, begitupun dalam berihram. Hal ini menunjukkan status kita semua dihadapan Allah SWT, kita semuanya sama dihadapannya tidak ada yang berpakaian mewah, semua pakaian yang gemerlap, pangkat dan jabatan harus ditanggalkan. Yang tertinggal adalah ketaqwaan kita yang menjadi bekal kita dalam .emenuhi panggilan Allah SWT ini.
Banyak pelajaran dan hikmah yang terkandung dari ihram ini, diantaranya kita akan sadar bahwa kita adalah sama di sisinya, yang kedua sifat sama rata itu akan terkandung dari sifat saling menghormati dan tolong menolong satu sama lain karena adanya larangan-larangan tertentu dalam ihram.
Sesudah bersih-bersih, dan memakai wewangian tibalah saatnya aku mengikrarkan diri untuk mengharamkan diriku, rambutku, kulitku, tubuhku dan sebagainya dari segala larangnnya. Satu pengalaman spiritual yang paling berkesan bagiku –mungkin juga semua orang yang sudah berhaji- yaitu merasa kedekatan kita kepada sang kholik itu akan lebih terasa ketika kita dalam keadaan ihram ini. Saat itu aku selesai menunaikan shalat sunat ihram dan langsung niat ihram umrah dan haji tamattu, tiba-tiba dengan tidak terasa air mataku berjatuhan entah kenapa, yang aku rasakan waktu itu seperti ada orang yang menyambut dengan penuh kasih sayang, sungguh terharu. “kamu kenapa mat? Ko tadi kamu kayak nangis?” tanya temanku “entahlah, aku Cuma merasakan seperti merindukan sesuatu yang begitu dalam” jawabku. Mungkin aku sangat merindukan Baitullah, Hajar Aswad, dan di Madinah yaitu berziarah ke makam Rasulullah Saw sehingga kerinduan ingin segera sampai kesana begitu menggebu.
Cukup lama aku mengenakan pakaian ihram ini, aku mengambil miqot pada pukul 22.15 tanggal 15 Nopember tepat di arah suatu daerah yang dinamai Rabig (ahli fiqih Indonesia menyebutnya Juhfah) dan sampai ke Makkah melaksanakan thawaf, sa’i, sampai tahallul berkisar dua hari dua malam. Bayangkan dalam kondisi musim dingin yang menusuk kita hanya memakai sehelai kain ihram dalam kapal di tengah-tengah lautan selama kurang lebih 30 jam tanpa selimut dan penghangat. Kalau bukan panggilannya siapa yang mau berdingin-dingin seperti ini, Ah ternyata aku paham disinilah letak sabda Rasulullah Saw bahwa haji lebih utama dari jihad.
Memang pengorbanan-pengorbanan seperti inilah yang menjadikan kemulyaan dari ibadah haji. Rasulullah Saw mengatakan semua itu bukan tanpa alasan, bagaimana beliau berhaji dari Madinah ke Makkah hanya dengan mengendarai unta bahkan berjalan. Jarak tempuh 900 km melewati gurun pasir yang panas membakar di siang hari dan dingin menusuk di malam hari bukanlah perkara mudah untuk dilalui. Tapi walau sudah ada kemajuan teknologi seperti sekarang ini, ibadah haji memang tidaklah mudah.
alam kondisi yang sangat lelah karena perjalan lima hari lima malam antara Kairo dan Makkah ini aku harus mencari rumah tempat aku menginap. Karena aku dan semua mahasiswa memakai visa perorangan jadi semua hal yang berkaitan dengan transportasi (kecuali perjalanan antara Kairo-Jeddah, Jeddah-Makkah, Makkah-Madinah, dan Madinah-Makkah), makan dan sebagainya semuanya harus ditanggung sendiri. Dan harus ku akui walaupun semua itu melelahkan dan mengundang emosi tapi semuanya aku jalani dengan penuh senyum karena aku sadari semua itu menjadi pelajaran yang sangat berharga buatku.