Mohon tunggu...
Rahmad Arbadilah Damanik
Rahmad Arbadilah Damanik Mohon Tunggu... Aktor - Penulis Lepas

Communication Student - Riau University

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyoroti Media Sosial Saat Ini: Antara Konten Sampah dan Rendahnya Selera Khalayak

3 Desember 2021   11:27 Diperbarui: 4 Desember 2021   07:35 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saat ini, media sosial tidak lagi menjadi sesuatu hal yang asing bagi setiap insan. Beragam macam konten sengaja dibuat, kemudian dinikmati juga secara sengaja maupun tidak. Sangat banyak konten yang bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi, namun tidak kalah banyak juga konten yang hanya mengutamakan sensasi sampai mempermalukan diri sendiri. Mungkin bisa dikatakan sebagai konten sampah! Selintas, sampah kedengaran terlalu kasar untuk melabeli konten yang unfaedah, tapi nyatanya tidak juga. Karena sampah tidak selamanya harus dibuang, dan terkadang bisa didaur ulang. Namun teruntuk para pemirsa yang budiman, apakah ada orang yang suka menghabiskan waktunya bersama sampah? atau sengaja mencari dan menikmati kehadiran sampah dalam hidupnya? Kalau ada barangkali ada yang salah dalam dirinya.

Menariknya, konten yang dianggap buruk bagi penulis dan mungkin sebagian orang tersebut tidak selamanya buruk. Karena dibutuhkan oleh si pembuat konten dan si penikmat konten itu sendiri. Tak jarang, konten sampah yang berseliweran pada media sosial populer seperti Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter, dan Youtube itu memiliki jumlah tayangan dan pengikut yang fantastis. Ini menunjukkan rendahnya selera masyarakat akan konten media apa yang akan dikonsumsinya. Tentunya tidak ada orang yang senang apabila pilihannya disalahkan, apalagi dikatakan kepadanya bahwa seleranya rendah. Tapi tidak semua pilihan yang diambil itu benar, dan tidak semua orang tahu letak kekeliruannya. Oh tidak, mereka menganggap itu hanya sebagai hiburan, toh namanya juga manusia kadang gabut. Namun realitanya, statement konyol tersebut akhirnya bertransformasi menjadi candu dan berujung pada pembelaan akan konten sampah tersebut. Sama seperti makanan, memakan makanan yang tidak bergizi dan mengandung sedikit racun secara berkala hanya karena rasanya enak menurut penulis bukanlah ide yang cukup bagus.

Semua orang pasti familiar dengan statement "Yucub, yucub lebih dari tipi." Yup, mungkin ada benarnya. Semakin lama semakin lebih-lebih banyak dramanya, dan lebih-lebih banyak sensasinya. Namun faktanya, konten sampah tersebut sengaja diproduksi si kreator. Demi apa? Beragam. Mulai dari cuan, popularitas, branding diri, agar kontennya anti mainstream, atau karena murni dari minimnya ide dan kreativitas si kreator dalam membuat konten. Terdengar jahat bukan? Tidak juga. Karena secara tidak langsung, konten yang mereka buat adalah cerminan dari selera khalayak yang budiman. Iya, rendahnya selera masyarakat berkedok hiburan itu! Demi bisa bersaing dan diminati kontennya, seorang kreator tentu harus riset dan survey mengenai target pasarnya. Sehingga terbesit dipikirannya untuk melahirkan konten-konten seperti prank prenk, gossip, hoaks, joget aduhai, dan konten yang dibumbui drama dan unsur settingan. Itukan sebenarnya memalukan? eits, mulut siapa itu. Bukankah menghalalkan segala cara itu boleh saja sebagai batu loncatan menuju viral? Itukan dosa? Tidak ada dosa dalam kamus pembuat konten sampah demi rupiah!

Tanpa menyebut merk, mungkin sudah banyak yang tau tentang prank gembel, prank sembako, konten viral berujung klarifikasi atau permohonan maaf, pamer kemewahan, umbar aib dan asmara, dan kalian bisa menambahkan sendiri. Ini bukan hanya sebatas hiburan lagi seperti parody atau mulusnya penghinaan dengan embel-embel darkjokes. Kreator mungkin awalnya iseng membuat konten seperti itu, namun ternyata diminati oleh khalayak yang budiman. Sehingga mereka memanfaatkan hal ini untuk membuat konten-konten nyeleneh lainnya.

Apakah karena konten yang mencerdaskan kehidupan bangsa sedikit? Tidak. Sangat banyak sekali, tapi ya kurang diminati. Khalayak yang budiman belum sadar dan memanfaatkan media sosial untuk mencari hal yang bermanfaat bagi dirinya. Ditambah biasanya rekomendasi video di youtube atau explore di Instagram biasanya menampilkan sesuatu yang sedang viral. Ditambah lagi ketika kita sering menonton dan sengaja mencari konten seperti itu, ya algoritmanya akan bekerja dan akan selalu menyuguhkan konten itu untuk kita konsumsi. Biasanya kita terperangkap dari click bait pada judul dan thumbnail yang membuat kita penasaran. Tanpa memiliki kecakapan literasi media, sama halnya dengan mengklik link paket internet gratis yang sering di share di grub-grub whatsapp hehehe.

Rendahnya selera dengan turunnya selera itu berbeda. Dahulu program acara tipi juga ada tuh yang namanya uye kuyang, termehok-mehong, sinetron cinta-cinta, dkk. Dan tipi kita tentunya membuat konten ini demi rating agar langgeng. Ingat, hidup ini tidak seindah drama yang ada di teletubis, eh telepisi. Dari dahulu rendahnya selera akan suatu tayangan yang dikonsumsi sudah ada. Kecuali dahulu masyarakat kita hobinya nonton acara TVRI, baru paten hehe. Mungkin masih ada yang seperti ini sampai sekarang, bedanya hanya pindah ke media sosial karena lagi-lagi "Yucub-yucub lebih dari tipi." Dan ada juga yang mungkin tersadar dan taubat seperti penulis, chuaaks! Sebenarnya tulisan ini tidak menjustifikasi secara umum dan tidak menyinggung personal atau kelompok tertentu. Tulisan ini hanya sebuah opini yang coba membedah indikator sebuah kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Tentu saja bisa salah, atau tetap salah (bagi yang tersinggung barangkali hehe, canda).

Jadi sebenarnya kita juga harus memiliki kendali tentang konsumsi konten di media sosial kita dengan bijak dan sadar. Apakah dengan men-dislike video sampah sebanyak-banyaknya? Hey anda tidak tahu kalau Youtube malah memasang iklan dan merekomendasikan video yang banyak dislike-nya untuk kita? Oke kalau begitu, terus kita kudu apa? Bayangkan anda sedang disuapi suatu makanan. Terserah anda untuk memilih membuka mulut dan kemudian mengunyahnya, apalagi yang disuapin adalah sampah yang ditutupi oleh kepingan cokelat berlumur keju diatasnya, iihh. Untuk itu, pahami komposisi makanannya, gizinya, dan setelah itu terserah anda.

Sebenarnya hanya perlu menyadarkan diri kita bahwasanya media sosial itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, memilih konten yang mendidik untuk meng-upgrade diri, megedukasi orang lain akan hal ini, dan menganalisis strategi kreator yang membuat konten sampah. Coba jeli melihat komposisi dari sebuah konten arahnya kemana. Betewe, jangan bermimpi konten sampah akan punah, tapi kalau dihiraukan, tentu tidak ada juga yang tertarik. Minimal mulai dari diri kita saja yang tidak tertarik, meski viewnya masih bejibun. Ga asik ah, serius amat hidup lu! Oke, cukup kontrol konten hiburan kita, jangan terus-terusan beralasan. Penulis percaya bahwa seseorang itu tergantung apa yang ia baca dan lihat. Kedua hal tersebut mungkin saja memiliki pengaruh, meski anda akan menyangkal bahwa itu tidak bereaksi dan berlaku pada diri anda.

Tanpa memaksa, setelah membaca ini pilihan tetap ada di tangan khalayak yang budiman!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun