Mohon tunggu...
rahmatananda
rahmatananda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang memiliki minat besar pada bidang sosial dan kemanusiaan. Saya aktif terlibat dalam berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar kampus yang berfokus pada isu-isu sosial, pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan kemanusiaan. Melalui partisipasi ini, saya berusaha mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang permasalahan sosial di lingkungan sekitar serta berkontribusi secara nyata dalam menciptakan perubahan positif. Saya percaya bahwa dengan berkolaborasi dan berperan aktif di berbagai komunitas, saya dapat memperluas wawasan, meningkatkan kemampuan interpersonal, serta menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap sesama.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tahun Baru Pajak Baru: Jalan Menuju Pemerataan Ekonomi atau Beban Berlebih Bagi Rakyat

6 Januari 2025   13:19 Diperbarui: 6 Januari 2025   13:19 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: baktiuntukrakyat.id

Memasuki tahun baru, kebijakan fiskal di Indonesia menghadirkan babak baru dengan penerapan aturan pajak yang lebih ketat, termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Pemerintah mengklaim bahwa langkah ini diperlukan untuk memperkuat penerimaan negara, mengurangi defisit anggaran, dan mendukung pemulihan ekonomi pascapandemi. Sebagai pajak konsumsi, PPN memengaruhi hampir setiap transaksi barang dan jasa sehingga kenaikan tarif ini dipastikan akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Harga kebutuhan pokok dan layanan yang tak terhindarkan dari PPN pun diprediksi meningkat, menciptakan tekanan tambahan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan pelaku usaha kecil. Dibalik klaim pemerintah tentang manfaat kenaikan PPN bagi perekonomian nasional, tersimpan keresahan mendalam mengenai beban yang harus ditanggung oleh rakyat kecil. Artikel ini akan mengupas lebih dalam, apakah kebijakan ini dapat menjadi jalan menuju pemerataan ekonomi seperti yang diharapkan, atau justru menjadi beban berlebih bagi rakyat.

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% membawa implikasi luas bagi berbagai lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada pada posisi paling rentan dalam struktur ekonomi. Di balik alasan pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara dan mendukung pemulihan ekonomi, penulis berpendapat bahwa kebijakan ini menimbulkan efek negatif terhadap daya beli, kesenjangan ekonomi, serta kesejahteraan rakyat kecil. 

Di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi, kenaikan PPN dapat memperburuk daya beli masyarakat kecil yang menjadi penggerak konsumsi domestik. Mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang 53,18% terhadap PDB Indonesia (BPS, 2023), menurunnya daya beli dapat memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan. Data menunjukkan bahwa inflasi tahunan per Desember 2023 mencapai 5,51% (BPS, 2023), yang akan semakin menekan kemampuan belanja masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah.

Kenaikan PPN menjadi 12% di tengah sistem ekonomi Indonesia yang masih belum mampu mengatasi kesenjangan pendapatan dinilai semakin menambah beban hidup rakyat kecil. Sebagai pajak konsumsi yang bersifat regresif, PPN lebih memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah yang harus mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Menurut data BPS, jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 66,35% dari total penduduk. Mirisnya, kebijakan ini muncul ketika data menunjukkan bahwa distribusi kekayaan di Indonesia semakin timpang, di mana hanya segelintir individu yang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi. Dalam kondisi ini, kenaikan PPN bukan hanya memperburuk daya beli kelompok rentan, tetapi juga menggerus rasa keadilan sosial dan menentang sila kelima yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagai  landasan kebijakan publik yang ideal.

Pandemi COVID-19 membawa dampak besar yang mengubah wajah ekonomi Indonesia. Masyarakat masih bergulat dengan pemulihan ekonomi yang penuh tantangan, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga harga barang yang terus merangkak naik. Pada tahun 2022 data BPS menunjukkan bahwa, 20,34 juta penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Di tengah situasi ini, kebijakan kenaikan PPN mencerminkan ketidakpekaan pemerintah terhadap realitas hidup rakyat. Bukannya menawarkan solusi yang berorientasi pada keberlanjutan ekonomi rakyat kecil, justru memunculkan kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan stabilitas fiskal jangka pendek dibandingkan kesejahteraan masyarakat luas. Ketidakpekaan ini bila dibiarkan dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih besar, seperti penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan meningkatnya tekanan sosial di masyarakat. Sudah waktunya pemerintah mengedepankan kebijakan yang progresif dan inklusif, bukan yang hanya menambah beban hidup mereka dari golongan rentan.

Kenaikan tarif pajak akan mendorong biaya hidup lebih tinggi, yang berisiko mendorong lebih banyak keluarga ke dalam jurang kemiskinan. Berdasarkan survei BPS, garis kemiskinan nasional pada Maret 2023 mencapai Rp550.458 per kapita per bulan, naik dari tahun sebelumnya. Dengan tambahan beban dari kenaikan pajak, kelas menengah bawah berpotensi menjadi lebih rentan terhadap kemiskinan. Dampaknya tidak hanya berupa penurunan kualitas hidup, tetapi juga terbatasnya akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Kebijakan ini harus dipertimbangkan ulang mengingat kelompok rentan adalah bagian penting dari ekonomi domestik yang membutuhkan perlindungan, bukan tekanan tambahan.

Kenaikan PPN bersifat regresif, artinya berdampak lebih berat pada kelompok pendapatan rendah dibandingkan kelompok kaya. Data OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menunjukkan bahwa pajak langsung seperti PPN lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah karena porsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan konsumsi lebih besar. Di sisi lain, kebijakan ini tidak diimbangi dengan peningkatan progresivitas pajak penghasilan untuk kelompok kaya. Dengan tidak adanya reformasi yang menargetkan kelompok ekonomi atas, kebijakan ini hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan pajak, di mana beban terbesar tetap ditanggung oleh masyarakat kecil. Pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan progresif seperti pajak kekayaan atau pajak warisan yang menargetkan individu dengan aset besar. Kebijakan semacam ini telah diterapkan di negara-negara seperti Prancis dan Norwegia untuk mengurangi ketimpangan ekonomi sambil tetap mendukung penerimaan negara. Pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan pajak yang lebih adil dan progresif yaitu dengan membuat kebijakan membesarkan golongan yang kecil tanpa mengecilkan golongan yang besar, seperti pajak kekayaan, untuk mengurangi ketimpangan.

Beberapa pihak berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN adalah langkah yang tepat untuk memperkuat pendapatan negara dan mendukung pemulihan ekonomi Indonesia, terutama pascapandemi. Mereka berargumen bahwa dengan meningkatnya penerimaan pajak, pemerintah akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk membiayai program-program sosial, pembangunan infrastruktur, serta memperbaiki layanan publik. Dalam pandangan ini, kenaikan PPN dianggap sebagai instrumen yang diperlukan untuk mengurangi defisit anggaran dan meningkatkan stabilitas fiskal negara. Selain itu, sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa konsumsi masyarakat yang kembali meningkat pascapandemi akan menopang pertumbuhan ekonomi sehingga dampak negatif dari kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat dianggap relatif terbatas.

Kenaikan pajak di tahun baru ini menunjukkan dilema besar bagi Indonesia. Di satu sisi, langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain kebijakan ini berisiko menekan rakyat kecil yang justru menjadi tulang punggung konsumsi domestik. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini dengan mempertimbangkan langkah alternatif seperti meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan atas dan memastikan bahwa beban ekonomi tidak semakin membebani mereka yang paling rentan. Reformasi kebijakan fiskal yang berorientasi pada keadilan sosial dan inklusivitas menjadi kunci untuk memastikan kebijakan pajak yang lebih berpihak pada rakyat. Sebagai perbandingan, Brazil telah menerapkan pajak progresif pada penghasilan tinggi dan pajak atas dividen untuk mempersempit kesenjangan sosial, sementara Swedia menggunakan kombinasi pajak penghasilan tinggi dan subsidi langsung untuk kelompok rentan guna menciptakan pemerataan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun