Saat saya berusia 10 tahun saya pernah dijahili oleh seorang anak perempuan, yap benar anak perempuan dan ya, saya anak laki-laki. Memang dulu atsmorfir keculunan sudah saya miliki, dimana saya sudah memakai kacamata saat itu dan juga bertubuh kurus sehingga rentan kena bully.Â
Dipikir-pikir dulu pokonya saya mirip Nobita lah, hanya bedanya tidak ada Doraemon disisi saya.
Waktu itu saya ingat saya sedang berdiri bengong tepat di pintu dan tiba-tiba saya di dorong dengan keras kearah samping menabrak kusen pintu. Hal tersebut membuat kuping saya memar dan merah.Â
Lantas saya mengejar si biang kerok ini ingin membalaskan dendam. Namun dia adalah gadis yang lincah dan atlit lari sekolah pula, hal tersebut membuat saya si anak klemar-klemer ini tertinggal dibelakang.
Lalu guru kami yang melihat konflik yang sedang terjadi antara kami akhirnya berbicara "ciee, benci dan cinta itu setipis kertas lho". Memang tidak punya empati si guru ini, bukannya meminta dia minta maaf ke saya malah menuduh saya suka sama dia.Â
Perkataan tersebut yang terdengar seperti pepatah umum membuat saya berpikir ulang saat dewasa ini, Benarkah benci dan cinta itu memang setipis kertas?.
Gagasan Konrad Lorenz
Saya tidak akan melanjutakan pengalaman masa kecil saya dan si gadis nakal itu. Mari kita bahas kaitan antara benci dan cinta ini sedikit menggunakan bidang keilmuan psikologi.Â
Kalau dilihat dari buku On Aggresion karya Kondrad Lorenz (1966) mennyatakan bahwa tidak ada cinta tanpa agresi. Agresi disini bisa kita runut sebagai sumber rasa benci.
Dalam karyanya tersebut sebenarnya Lorenz sedikit menitik beratkan akan keberadaan agresi sebagai sebuah sifat bawaan yang dimiliki oleh manusia. Agresi sebagai "fitrah" manusia untuk merusak ini menjadi sebuah syarat akan cinta.Â