Di salah satu pondok pesantren yang sudah cukup berumur di Yogyakarta, pondok pesantren tersebut berbasis Al-Qur'an, mengaji sudah tentu menjadi rutinitas santri, dan menjadi kegiatan pokok di pondok. Seluruh santri digembleng untuk menyetarakan bacaan yang dimulai dengan bimbingan yang dinamakan pemula, dimana pada tahap ini seluruh santri diwajibkan untuk membaca dengan tartil. Jika kemudian bacaan tartilnya sudah benar dlama artian setiap makhroj dan sifat hurufnya sudah benar dan tajwidnya sudah tepat, maka santri diperbolehkan untuk menghafal.Â
Al-Maghfurlah K.H Nawawi Abdul Aziz sosok ulama dan kyai besar di Yogyakarta, pernah dawuh (berkata): "nderes kui sing alon-alon, mengko iso cepet, ning yen cepet  ora biso alon". Maksudnya adalah jika mengaji atau murajaah itu yang pelan-pelan (tartil), nanti bisa cepat, akan tetapi jika kebiasaan membaca cepat nanti tidak bisa pelan.Â
Dawuh beliau sebenarnya menggambarkan bahwa seharusnya dalam membaca atau menghafal Al-Qur'an itu harus dengan tartil.Â
Lebih baik pelan akan tetapi maknanya dapat, daripada cepat namun kekhusyu'an dalam membaca tidak terlihat.
Metode membaca Al-Qur'an dengan Tartil:
- Setiap huruf dapat terucap dengan jelas dan benar sehingga huruf-huruf yang serupa terdengar jelas perbedaannya.Â
- Waqaf dan Ibtida' ditempat yang benar.
- Menyebut semua harakat dengan jelas, huruf vokal 'a ' 'i ' 'u'Â terbaca jelas bukan malah miring ke 'e'atau 'o'.
- Suara yang sampai kehati, terdengar oleh kita sendiri.
- Melembutkan dan mengindahkan suara agar muncul rasa takut kepada Allah SWT.
- Memberi hak-hak ayat yang mengandung rahmat dan azab.