Aku tidak pernah membayangkan akan tersesat di dunia seperti ini, di tengah gemerlap lampu neon dan dentuman musik yang menghantam jantung dengan nada-nada bising, seolah mengajak siapa pun yang masuk untuk larut dan melupakan.
Malam itu, aku duduk di tengah ruang asing yang dipenuhi wajah-wajah samar, diselimuti asap rokok dan tawa yang terasa terlalu ringan, hampir hampa.
Di sanalah, saat aku masih duduk dengan canggung, seorang perempuan paruh baya mendekat. Tatapan matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan mungkin lelah, mungkin kebijaksanaan dari kehidupan yang keras.
Orang-orang di tempat ini memanggilnya "Mami," sebuah panggilan yang terdengar akrab dan hangat, meskipun di baliknya ada misteri yang membuatku ingin tahu lebih jauh.
"Butuh teman, Mas?" tanyanya lembut, nada suaranya seolah memiliki dua lapis makna kelembutan dan kegetiran. Entah kenapa, rasa penasaran dalam diriku menang. "Ya, boleh... perkenalkan seseorang," jawabku, berusaha menenangkan kegelisahan yang entah muncul dari mana.
Mami tersenyum tipis, lalu mulai memanggil beberapa perempuan. Mereka melangkah ke arahku, satu per satu, seperti parade kecil di antara cahaya lampu yang berubah warna.
Masing-masing menatapku dengan senyum lemah, namun mata mereka terlihat kosong, seakan jiwanya sudah pergi jauh, meninggalkan tubuh mereka dalam rutinitas yang sunyi.
Lalu, aku melihat dia seorang perempuan yang tak banyak bicara, hanya menatapku dari jauh. Sorot matanya mengandung sesuatu yang berbeda dari yang lain. Matanya tidak hanya kosong, ada cerita yang bersembunyi di balik pandangannya, sesuatu yang memanggilku untuk lebih dekat.
Mami seakan mengerti pilihanku sebelum aku mengatakannya. "Kinan," katanya pelan, memperkenalkan perempuan itu.
Kinan menatapku dengan tatapan yang tenang, namun di balik ketenangan itu ada kesedihan yang dalam, yang mungkin tak semua orang mampu melihatnya.