Itusebabnya tentu kita berharap bahwa secepatnya para elit politik nasional maupun di daerah membangun konsenses nasional dan lokal, agar setidaknya dapat mengurangi penggunaan politik identitas dalam kampanye politiknya, kemudian bersepakat mempersembahkan menu terbaik  dan berkulitas bagi rakyat dengan politik gagasan, yang tumbuh dari hasil kajian atas keterbelakangan dan kemiskinan rakyatnya karena bukankah kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatlath yang menjadi motif utama hadirnya budaya demokrasi yang demokratis.
Budaya demokrasi yang sudah demokratis, yaitu toleran dan akomodatif terhadap perbedaan (Almond dan Verba, 1963; Huntington, 1984), mendorong partisipasi dan tradisi kewargaan di level lokal. Melahirkan komitmen warga yang luas, membentuk komunitas warga dan mewujudkan hubungan horizontal; Amanah, toleransi, kerjasama dan integrasi (Putnam,1993).
Anthony Giddens(Sosiolog) menyebutnya dengan pendalaman demokrasi atau demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy). Bagi Giddens sumbangan penting dari demokrasi adalah membangun hubungan dialogis yang didasari oleh trust antar sesama individu dan kelompok. Demokrasi dialog bagi Giddens harus didasarkan atas kepercayaan (trust) dan sebaliknya, trust diperkuat lewat dialog yang berulang(Beresaby, 2004) Menafsir Giddens dalam teori strukturasinya, bahwa hubungan yang mesti dibangun adalah hubungan dualitas yang diperkuat dengan kepercayaan. Bukan hubungan dualisme, yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek. Atau sebaliknya masing-masing tampil mempertahankan eksistensinya yang dangkal dengan terus menebari kebencian (Hate Speech) antar sesama warga bangsa[].
Oleh Rahmat Abd Fatah
 Sumber Tulisan :https://ternate.bawaslu.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H