Â
Apa yang dirisaukan di era demokrasi paska reformasi adalah tentang semakin merebaknya Hate Speech (ujaran kebencian) antar sesasma warga bangsa. Kerangka fikir (mind set) yang di alasi nilai-nilai keadaban (civility) juga tentu semakin memudar, jika tak mau dibilang menghilang. OK, ketemu muka kita masih mnemukan sopan santun tradisional, kesediaan untuk membantu. Tetapi begitu berada di luar konteks sosial tradisional atau berada di akun media sosialnya, ia lalu menjadi keras.
Soemarno S. Dalam bukunya (Karakter Bangsa dari Gelap Menuju Terang. h.19, 2010) bertanya dengan nada miris. Kemana arah bangsa ini, beliau mau menegaskan dan mengingatkan character building yang pernah dianggap begitu kunci oleh Bung Karno bahwa "Jika pembangunan karakter tidak berhasil, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kulit. Lalu dengan kegelisahan itu para pendiri bangsa meng-alasi kita semua dengan dasar yang tersusun rapi dan kokoh.
Bahwa Negara dan warga bangsa ini tidak boleh hanya sekedar mengaku bertuhan, tetapi bahwa keimanannya juga harus berefek pada keadilan dan keberadaban sebagai manusia dalam persatuan yang kokoh, kepemimpinan yang hikmat dan bijaksana, menempatkan rakyat sebagai subjek perubahan dalam musyawarah yang bermakna dalam rangka mendapatkan keadilan dan kesejahteraan pada semua warga bangsa.
Inilah budaya demokrasi yang kuat dari bangsa ini, yang terkadang hanya dihafal, tetapi tidak dihayati dan diamalkan dalam laku dan sikap oleh elite politik dalam berbangsa. Hal tersebut mengakibatkan politik kita semakin "kotor" karena berbeda antara pidato dan laku keseharian dalam kehidupan.
Lihat saja kampanye-kampanye politik para elite. Seolah jika tidak menggunakan sentiment identitas seperti politiasasi Suku,Agama, Ras dan antar golongan. Politiknya seolah tidak bermakna, akibatnya apa. Kesempatan pemilih untuk mendapatkan menu sajian kampanye yang "bergizi". Yang dapat menjawab kegelisahan dan harapan rakyat tidak terpenuhi. Dan yang paling kita gelisahkan tentunya adalah dapat "merobek" tenunan bangsa yang suda sedemiakn lama di jahit, bukan saja di jahit dengan benang-benang keberagaman dan kemajemukan tetapi pula dengan cinta dan harapan kesejahteraan pada rakyatnya.
Nah, sekarang gendang pemilu(Pilpres, DPR,DPD dan DPRD) serta pilkada telah ditabuh, apakah nanti yang tersaji adalah semakin terbukanya isu-isu atas kebutuhan lokal yang menasional atau justeru isu nasional yang melokalisir eforia politik 2024, lalu masyarakat disatukan dalam "pesta" sentiment primordial identitasnya. Apalagi, tentunya didukung oleh semakin terbukanya penggunaan media sosial yang tak mengenal batas sehingga membuka ruang bagi bertaburnya Hate Speech (Ujaran kebencian) antar sesama warga bangsa.
Wiji Nurasih (2019), dalam artikel ilmiah "Hate Speech dalam Masyarakat Post Truth" mengungkapkan Hate speech menjadi fenomena yang semakin nyata dalam masyarakat post truth(Pasca kebenaran) yang memungkinkan setiap orang secara aktif memproduksi informasi, melayangkan pendaapat dan merespon setiap hal yang ada dalam dunia maya. Dan kenyataannya, banyak kasus ujaran kebencian yang dilayangkan melalui media sosial, pelakunya bukan saja dari politisi tetapi juga berasal dari pengajar, karyawan dan pemuka agama.
Hate Speech (Ujaran kebencian) ialah segala jenis komunikasi dalam bentuk ucapan ,tulisan maupun perilaku yang merendahkan atau  mendiskriminasi. Tetapi bahwa mereka ini tidak dengan muda mengakui kekurangannya dalam berkomunikasi, bahkan membenarkan asumsinya. Inilah yang disebut dengan era post-Truth (Pasca kebenaran) ialah era, dimana setiap orang dan kelompok ingin tampil mempertontonkan eksistensinya. Di eran ini orang dengan mudah membuat asumsi atas apa yang dia lihat dan dirasakannya. Lalu percaya dengan begitu kuat. Tanpa konfirmasi atau menguji keabsahan kebenarannya ("Menyoal Keberagamaan dan politik identitas di era Post-Trust". Rahmat,2019)
Keseluruhan struktur berfikirnya tunduk pada suyektifitas dan kepercayaan pribadinya. Sebabnya karena, di era Post-Truth inlah setiap orang tampil sebagai nara sumber dan sumber berita. Dalam konteks yang lebih makro, kemudian berkelompok membangun opini dengan maksud memframing politik identitasnya sebagai suatu kebenaran yang harus diterima publik apa adanya. Meminjam Hitler dalam Mein Kampf-nya, bahwa kebohongan jika dikatakan secara terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran oleh public("Menyoal Keberagamaan dan politik identitas di era Post-Trust". Rahmat,2019)