`
TATA BANGUNAN KOTA BANDA ACEH
Pasca Tsunami pada tanggal 26-12- 2004, semua aspek kehidupan mulai bangkit bersama, proses rehabilitasi dan rekonstruksi di kota banda Aceh. Tidak ketinggalan sisi konstruksi bangunan dan perumahan di kota Banda Aceh, yang kala itu termasuk wilayah kerusakan paling parah akibat bencana Tsunami tersebut. Bangunan-bangunan yang design-nya tidak atau belum memenuhi syarat tetapi telah dikerjakan dan dibangun, ternyata mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah kota banda aceh.Bangunan-bangunan tersebut diperbaiki kekuatan strukturnya, di antaranya diberikan pengaku tambahan struktur. Beberapa bangunan juga diperbaiki kekuatan strukturnya dengan metode yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kerusakannya.Permasalahan yang timbul dalam masa pembangunan 10 tahun pascatsunami ini adalah adanya lepas kontrol dari prinsip izin mendirikan bangunan (IMB). Beberapa bangunan yang ber-IMB ternyata dibangun tidak sesuai izin yang diberikan, seperti adanya perubahan ukuran struktur kolom dan balok yang digunakan sudah tidak sesuai dengan gambar design baik itu disertai adanya pengurangan jumlah tulangan atau tidak, ada juga perubahan-perubahan jumlah dan fungsi kamar/ruang ataupun penambahan lantai bangunan diluar IMB, sehingga kondisi bangunan gedung yang perlu dipertanyakan tingkat kelayakan penggunaannya.
Ada beberapa bangunan yang mendapat teguran,tapi pemilik biasanya terus membangun bila tidak adanya tindakan tegas dari petugas penertiban pemerintah kota banda aceh. Permasalahan semakin pelik ketika bangunan telah selesai dan digunakan oleh pemiliknya atau bahkan disewakan atau dijual kepada pihak lain.Seperti hal pertokoan di Kota Banda Aceh yang ketika dibangun telah mendapatkan izin yang sesuai. Pertokoan-pertokoan ini ada yang saat ini tetap menjadi unit pertokoan, tapi tidak sedikit yang mengalami perombakan berubah fungsi menjadi penginapan/hotel, rumah sakit, bahkan pergudangan. Perombakan ini setidaknya melakukan perubahan pada posisi dan keberadaan dinding bata yang pada perencanaannya dianggap berperan pada mendukung kekuatan bangunan secara keseluruhan misal satu blok toko. Kejadian seperti ini bukan tidak mungkin terjadi juga pada bangunan-bangunan milik pemerintah yang dibangun dengan APBN/APBA/APBK. Kondisi ini dapat dilihat dari munculnya beberapa kegagalan konstruksi pada bangunan pemerintah ataupun yang dibiayai pemerintah sendiri.
Ada hal yang lebih menantang di masa mendatang. Kota Banda Aceh yang menjadi destinasi utama wisata tsunami setiap tahunnya, sedang diuji kepedulian dan perhatian akan bangunan-bangunan yang selamat pada pascatsunami. Sebut saja Masjid Baiturrahim Uleelheue yang fenomenal itu, serta beberapa bangunan hotel dan pertokoan di kawasan Peunayong pusat kota banda aceh, Kampung Mulia, dan Kawasan Kantor Gubernur hingga Kecamatan Syiah Kuala. Banyak bangunan pemerintah di bawah tanggung jawab Pememerintah kota Banda Aceh ataupun Pemerintah provinsi Aceh yang selamat pascagempa dan tsunami pada tahun 2004 lalu, yang hingga saat ini masih berdiri telah difungsikan kembali.Dalam hal ini, sepertinya pemerintah kota/atau pemerintah provinsi abai atas kewajibannya melindungi keselamatan warga/masyarakat pengguna bangunan-bangunan tersebut. Karena sampai saat ini mayoritas bangunan tersebut belum mendapat perlakuan perawatan yang tepat pascagempa dan tsunami pada tahun 2004. Kondisi ini dapat dilihat pada kerusakan-kerusakan yang muncul pada kolom/tiang dan dinding bangunan di lantai satu. Hampir semua bangunan mengalami keratakan beton dan pecah-pecah pada beton kolom dan dinding batanya.
Sebagian pengguna atau pemilik, kerusakan ini hanya ditambal dan dicat kembali, tanpa memperbaiki kerusakan utama yang terjadi pada kolom atau dinding tersebut, sehingga perbaikan yang telah dilakukan pada tahun 2005/2006 kembali mengalami kerusakan pada tahun-tahun berikutnya. Perbaikan-perbaikan yang sama akan terus berulang dan menjadi pekerjaan rutin pengguna bangunan hingga tiba saatnya umur kolom tersebut sudah tidak dapat diperbaiki lagi pada 5-10 tahun mendatang.Kerusakan-kerusakan tersebut terjadi akibat adanya keretakan struktur kolom dan dinding saat menahan beban gempa dan gelombang tsunami 2004 lalu. Selanjutnya air laut yang mengandung kadar garam tinggi saat itu merendam sebagian kolom dan dinding. Perlahan-perlahan terjadi intrusi garam pada keretakan struktur kolom dan dinding, selanjutnya garam-garam ini bereaksi dengan udara menimbulkan korosi pada tulangan kolom dan pengapuran pada dinding bata.
Kondisi ini ditandai dengan munculnya cairan kecoklatan pada retakan kolom ataupun balok dan plat lantai bangunan. Pada dinding ditandai dengan mengelupasnya plasteran yang disertai dengan butiran-butiran kapur yang mengandung garam. Pada kondisi yang lebih parah, bata merah menjadi rapuh dan luruh perlahan-lahan.Perbaikan sederhana yang dilakukan pemilik/pengguna saat ini adalah dengan menambal kerusakan-kerusakan tersebut dan mengecatnya. Seperti halnya menutupi jerawat pada wajah dengan kosmetik yang tebal. Satu saat jerawat itu tetap akan pecah dan merusak lapisan kosmetik di atasnya, demikianlah analogi sederhananya.Sangat disayangkan bila Bangunan Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang sangat bernilai sejarah yang telah diselamatkan Allah dari gempa dan tsunami mendapat perawatan yang tidak sesuai dengan tingkat kerusakannya, bukan tidak mungkin bangunan tersebut akan runtuh tiba-tiba di tangan manusia. Mengingat pentingnya nilai historis Masjid Baiturrahim, berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk merawat dan menyelamatkan situs tsunami tersebut harus disediakan bersama-sama oleh semua pihak yang ingin peduli.
Demikian juga halnya bangunan penyimpanan dokumen daerah, hanya dengan perbaikan struktur pada kolom-kolom lantai satu dengan biaya yang tidak seberapa akan diperoleh kembali bangunan kokoh yang mampu bertahan lebih dari 10-30 tahun mendatang.Pada bangunan yang dimiliki oleh satu orang atau instansi tentunya proses perbaikan dan perawatan akan lebih mudah untuk direncanakan dan dilaksanakan. Berbeda halnya dengan bangunan pertokoan yang pada satu bloknya telah dimiliki oleh banyak orang/instansi. Perbaikan dan perawatan harus dilakukan secara bersama-sama dan bersamaan waktunya. Akan sia-sia bila saja ada satu pemilik yang tidak ingin atau bahkan ogah ikut memperbaiki karena akan terjadi kerusakan pada seluruh bangunan yang berhubungan satu blok.Saat ini, ketika Pemerintah kota Banda Aceh hendak merevisi Qanun Tata Bangunan untuk diterapkan pada tahun mendatang, hendaknya juga memperhitungkan kondisi terkini dari bangunan berizin yang telah mengalami perubahan-perubahan dari tahap pembangunan hingga penggunaannya.
Semoga pemerintah kota banda aceh juga memerhatikan kondisi bangunan peninggalan tsunami yang masih bertahan dan yang masih layak digunakan, dan memiliki keberanian untuk menindak pemilik yang enggan memperbaiki bangunannya yang membahayakan dirinya sendiri, penyewa, ataupun orang lainnya, seperti halnya keberanian pemerintah kota menindak tegas terhadap bangunan tanpa izin.Penataan kawasan suatu komplek bangunan juga harus mendapat perhatian dari pemerintah kota. Terutama bangunan-bangunan publik yang melayani orang banyak seperti rumah sakit, sekolah, dan kantor pemerintah. Ada rumah sakit dan sekolah yang kurang ramah dalam memberikan jalur penyelamatan/evakuasi bila terjadi gempa/tsunami/kebakaran. Jalur akses yang tidak/kurang memadai untuk dijangkau oleh pasien ataupun siswa sekolah. Semoga ke depan, Banda Aceh sebagai kota Madani ini lebih siap dalam menghadapi bencana.
Banda Aceh, 28 November 2014
RAHMATSYAH