Mohon tunggu...
Rahmat Nurudin
Rahmat Nurudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya adalah seorang pegiat pendidikan yang aktif di LSM Rumah Cerdas Kota Bandar Lampung serta menjadi pengajar di Sekolah Menengah PErtama. Saya juga tertarik di dunia politik dan mengikuti perkembangan dunia Politik Indonesia sejauh ini. Saya juga aktif di organisasi kepemudaan dan senang menulis, melakukan riset terkait dunia pendidikan dan politik sekaligus. Kedepannya, saya berkeinginan untuk bisa melanjutkan studi master terkait ilmu pendidikan baik di dalam maupun luar negeri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampanye Cerdas di Pemilu 2014

12 Maret 2014   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun politik 2014 ini, berbagai upaya dilakukan calon legislative maupun Calon Presiden tiap partai untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat luas agar mereka mengetahui pencalonannya serta mau memilih dirinya dalam pemilu nantinya. Berbagai upaya semisal mamasang spanduk, banner, stiker, bendera, dan poster dipasang-pasang di berbagai sudut tempat terutama dijalan-jalan utama dimana masyarakat biasanya melewatinya. Di salah satu sisi, strategi tersebut merupakan keniscayaan para calon anggota dewan dan calon presiden untuk memperkenalkan diri mereka masing-masing, namun dilain hal, strategi yang mereka lakukan cenderung tidak beraturan kalau tidak mau dibilang serampangan. Meski itu tidak murni kesalahan para anggota dewan dan foto capres yang dipajang itu. Fenomena ini bisa jadi karena ulah para tim sukses mereka sendiri yang tidak tahu norma-norma keindahan dalam memasang alat peraganya. Sudah jelas diatur pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 15 Tahun 2013 yang melarang pemasangan atribut caleg ataupun partai yang melanggar ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan. Oleh karena itu ketika masyarakat umum melihat pelanggaran tersebut, sudah  menjadi hak masyarakat untuk melepas atributnya. Di beberapa daerah, telah dikeluarkan peraturan kepala daerah yang melarang pemasangan atribut di rumah-rumah milik pribadi. Meskipun peraturan tersebut tidak semua daerah menerapkan, namun faktanya memang di daerah Bandar lampung, banyak baleho, poster atau stiker yang terpasang di rumah-rumah warga. Menurut hemat saya, cara-cara konvensional dengan memasang atribut di segala tempat tidak berpengaruh signifikan terhadap keterpilihan calon tersebut.

Masyarakat era sekarang sudah semakin cerdas menilai calon yang akan dia pilih, meskipun memilih karena ada beberapa faktor pragmatis dan perspektif masing-masing pemilih, misalnya karena programnya, kedekatannya dengan masyarakat, ada uang bantuannya dan lain-lain.  Kini, sudah saatnya para caleg merubah cara-cara konvensional dalam memperkenalkan dirinya di tengah-tengah masyarakat jika mau dipilih nantinya. Caleg harus berubah menggunakan cara-cara cerdas dan mendidik secara politik, daripada merusak lingkungan dan mengganggu ketertiban umum. Mendidik masyarakat secara politik agar perspektif politik mereka bahwa politik itu bukan sekedar hal yang kotor, penuh tipu muslihat, kepentingan kekuasaan, ataupun sekedar “bagi-bagi rejeki” sesaat kemudian menghalalkan korupsi sampai bertahun-tahun. Sudah saatnya para caleg meramaikan pesta demokrasi dengan cara-cara yang beretika, menjunjung tinggi moral dan etika diri serta memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat walau mungkin kecil.

Cara-cara berkampanye cerdas 2014 merupakan era baru generasi teknologi yang menjadikan tahun politik ini bisa menjadi momentum perbaikan citra perpolitikan Indonesia yang rusak di mata masyarakat. Menilik lebih jauh, ada fakta yang menarik dari cara berkampanye caleg di daerah tertentu. Calog tersebut sengaja membeli beberapa hektar sawah di daerah tersebut untuk digarap oleh masyarakat di dapil nya. Bahkan caleg tersebut menggarap sawahnya bersama dengan warga-warganya. Saya melihat esensi dari cara caleg tersebut adalah memperkenalkan diri dan membangun kedekatan kepada masyarakat secara emosional dan merasakan nasib yang sama dengan para rakyat disitu. Membangun kedekatan emosional dan turut merasakan apa yang rakyat rasakan secara langsung merupakan langkah awal membangun kepekaan sosial terhadap masyarakat yang kurang mampu.

Lain lagi dengan kampanye era teknologi yang membangun popularitas lewat teknologi semisal membuat akun facebook, twitter, membuat web pribadi ataupun kampanye lewat SMS gateway langsung ke nomor-nomor telepon dari operator yang sudah di seleksi perwilayah. Mengingat hampir semua orang memiliki telepon genggam yang paling tidak bisa mengakses internet, kesempatan untuk membangun popularitas lewat media sosial adalah strategi baru memperkenalkan diri kepada masyarakat tanpa mengganggu ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan. Lewat media sosial caleg juga bisa beradu program-program kerja dan hasil kinerjanya kepada masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa bekerja untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat bukan sekedar pada saat jadwal kampanye maupun menjelang pemilu. Namun sudah semenjak paling tidak 5 tahun berjalan menuju pemilu, sebagai bukti keseriusan dan planning nyata bakti kepada masyarakat. Saya berpikir bahwa menjadi penyambung lidah rakyat bukan sekedar kepntingan sesaat menjelang pemilu semata. Kerja nyata bersama masyarakat dan berkelanjutan, buka sekedar seremonial kunjungan dua atau tiga jam, jauh lebih tertanam dalam benak masyarakat.

Berkampanye di tengah masyarakat bukan sekedar memperkenalkan diri serta politik transaksi apa yang bisa caleg berikan kepada masyarakat. Namun ada hal “tawaran pelayanan berkelanjutan” yang bisa tertanam kuat di benak masyarakat. Berbicara tentang kampanye sejatinya adalah membangun merek dagang partai maupun personal caleg itu sendiri tarkait image nya di tengah masyarakat. Ketika caleg dan partai pengusungnya hanya bisa berkenalan, bersalaman, dielu-elukan, tebar uang, bantuan sesaat untuk membangun tempat ibadah atau fasilitas publik, maka selamanya masyarakat akan berpikir pragmatis dan men-cap caleg dan partai yang bersangkutan hanya sekedar butuh rakyat menjelang pemilu saja. Selepas pemilu maka semuanya juga bisa jadi berakhir waktu itu juga, maka tidak heran ketika masyarakat berpendapat bahwa pemilu tidak membawa apa-apa selain uang sesaat dan bantuan sesaat itu. Pola tersebut seolah mendidik masyarakat menjadi kelompok yang pragmatis dan tidak peduli dengan politik, cenderung menuju golput. Hal inilah yang paling harus dihindari dari praktik-praktik menjelang pemilu yang ada selama ini. Maka saya secara pribadi mendorong kepada masyarakat untuk cerdas menolak bantuan sesaat itu demi memutus mata rantai pragmatisme politik demi mewujudkan karakter politik pelayanan yang berkelanjutan.

Masa depan perpolitikan bangsa Indonesia

Banyak kekhawatiran saya ketika melihat kecenderungan msayarakat saat ini yang tidak suka dengan dunia politik dan segala pemberitaannya. Kondisi inilah yang sebenarnya malah diharapkan oleh beberapa kalangan tertentu demi mengurangi pemilih yang menggunakan hak suaranya. Kondisi inilah yang malah mudah dimainkan oleh kalangan tertentu berkepentingan dalam rangka menguasai peta kekuasaan di Indonesia dari tahun 2014 dan kedepannya. Sekali lagi pemilu 2014 adalah momen untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap perbaikan politik dan demokrasi Indonesia kedepannnya. Politik bukan sekedar penguasaan terhadap pos-pos pemerintahan namun lebih pada sarana untuk pengabdian dan pelayanan terhadap rakyat. Politik bukan sarana untuk mencari pekerjaan dan meraup uang lewat praktik-praktik korupsi kotor.

Partai politik berperan besar dalam mengembalikan citra politik ditengah-tengah masyarakat. Partai politik berperan dalam mengubah pandangan masyarakat dalam memilih, bukan atas dasar kepentingan pragmatis melainkan atas dasar pandangan ideologis. Saya melihat ada contoh nyata beberapa partai politik yang menerapkan pola pelayanan dalam berkampanye dan terjun ditengah-tengah masyarakat, membangun kedekatan psikologis turut merasakan kesusahannya, membangun rasa simpatik dengan ketulusan, serta kerja-kerja kongkret yang tidak dilakukan menjelang pemilu saja namun setiap saat ketika memang masyarakat membutuhkan bantuan. Beberapa partai politik memiliki tim sukarelawan dan pos bantuan khusus bencana yang siap terjun kapanpun. Tidak perlu melihat dengan sempit seolah itu kepentingan sesaat dengan memanfaatkan momentum bencana dan isu kemanusiaan demi kampanye partai-partai tersebut. Sebagai orang yang objektif, hal ini perlu dalam rangka membangun kedekatan dengan masyarakat dan tahu persis apa yang dibutuhkan oleh mereka. Masa depan perpolitikan Indonesia bisa ditentukan dari pemilu 2014 ini. Partai politik sangat di dorong untuk membuat perspektif baru terhadap citra politik selama ini dengan melakukan kampanye cerdas “mencerdaskan masyarakat” dengan membangun image “penawaran” baru berupa pengabdian ikhlas tanpa batas, pelayanan kepentingan rakyat kecil, kontribusi nyata berkelanjutan, membangun kedekatan psikologis melalui kader-kader intinya serta memperkuat ideologisasi masyarakat terhadap kepentingan bangsa dan negara Indonesia serta paling penting adalah menyatakan tidak untuk korupsi dan pernak-perniknya. Itu semua adalah pekerjaan besar parpol demi memperbaiki pandangan masyarakat terhadap dunia politik itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun