[caption caption="Sumber foto: http://favim.com"][/caption]Desember 2015, masyarakat negeri ini seolah dipaksa untuk mencuci otak dan logika berpikir oleh banyak politisi di parlemen, baik di level negara maupun propinsi, jika kejahatan di panggung politik adalah sah di mata hukum.
Di level negara, dengan mata telanjang publik bisa melihat bagaimana bentuk konspirasi di parlemen ketika mengadakan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan. Tiga orang sekonyong-konyong dikirim ketika sidang akan digelar, satu di antaranya telah berusia 69 tahun tapi seolah lupa jika beliau sudah tua. Bukan beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan, ia bersama kedua temannya justru konsisten membela kejahatan yang berbayar dan berkuasa.
Masyarakat geram, setidaknya melalui suara yang diwakilkan oleh para netizen. Tapi bisakah apakah rakyat, selain geram? Kenyataannya, rakyat harus berhadapan dengan mafia yang berkedok wakil rakyat dan parahnya, mereka punya hak kekebalan hukum pula.
Palu keputusan undang-undang negeri ini ada di tangan wakil rakyat berwatak maling, yang bisa mengetuk palu kapan saja. Mau dalam keadaan mau ngupil, pakai kaki, atau pas lagi ngiler sekalipun, seolah tidak ada yang berani menentang. Mereka mengklaim punya hak imunitas atau kekebalan hukum yang diatur melalui undang-undang yang (tentu) mereka buat dan adakan sendiri.
Di level propinsi, ada yang ngamuk uang makannya per hari tidak sampai Rp 500 ribu. Tidak cukup untuk makan lobster katanya. “Emangnya makanan kalian,” katanya menunjuk ke arah kalangan awak media.
Ya, penjahat punya ruang lebar di negeri ini, dengan dapat duduk di parlemen. Tikus bisa memiliki tuksedo dan parfum mahal, bahkan bisa punya mimpi punya jet pribadi.
Orkestra kejahatan pun berlanjut, ketika ada seorang pemuka dari sebuah organisasi agama dan pentolan sebuah partai kembali bersuara, mengeluarkan napas bau comberan. Meski sudah tua, dia tetap konsisten mengupayakan degradasi nilai di negeri ini. Katanya dia mau kembali jalan kaki (dalam imajinasinya)...
Pantas banyak masyarakat yang mulai meninggalkan hak partisipasi politik di negeri ini. Pemilukada serentak baru-baru ini adalah bukti, rata-rata jumlah partisipasi hanya 50% bahkan kurang. Bahkan seorang walikota perempuan yang sarat prestasi hanya berhasil mengundang sekitar 51% warganya ke bilik pemberian suara.
Ya, di tengah rasa tamak banyak wakil rakyat di parlemen dan di panggung eksekutif, sebagian rakyat pun tetap berjalan melanjutkan perjuangan kemuliaan hidupnya masing-masing. Panggung politik tidak ubahnya kisah sinetron tentang tokoh antagonis yang kerap menang. Setelah perdebatan selesai, tivi pun dimatikan. Saatnya rakyat untuk beristirahat, agar energi kembali pulih untuk berangkat berkarya saat matahari pagi terbit di ufuk Timur.
Kelak, saat rakyat semakin cerdas, bisa jadi panggung politik tidak ubahnya aksi seni jalanan yang mulai usang. Rakyat tetap melihat, sepintas dan berujar, “Anda wakil rakyat di parlemen? Oh, ini lobster buat makan siangmu. Semoga bermanfaat yah, saya jalan dulu masih banyak kerjaan yang jauh lebih penting.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H