Mohon tunggu...
Rahmat Derryawan
Rahmat Derryawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya seorang automotive enthusiast, traveller, movie goers, ayah dari 4 orang anak, suka menulis dan fotografi. Blog pribadi jbkderry.wordpress.com Twitter @jbkderry email derry.journey@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Baru Imlek & Diskursus Etnis Tionghoa

8 Februari 2016   11:05 Diperbarui: 8 Februari 2016   12:20 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber image: photobucket.com"][/caption]Hari ini Senin 8 Februari 2016, kalangan etnis Tionghoa di Indonesia merayakan Imlek, perayaan tahun baru di kalangan ras kuning.

Khusus di tahun ini, saya tiba-tiba ingin menulis tentang perayaan Imlek 2016 dan masalah etnis “Cina”. Saya tiba-tiba ingat salah satu kawan baik, Asang, pemilik bengkel di bilangan Margasatwa – Jakarta Selatan yang sudah beberapa lama tidak saya kunjungi.

Asang adalah salah satu kawan baik saya asal Singkawang – Kalimantan Barat yang mengadu nasib di ibukota, dengan membuka bengkel motor hingga menikah dan punya anak. Seingat saya, tidak pernah ada masalah etnikal (atau kedaerahan) selama kami berkawan sejak tahun 2004. Kami sama-sama perantau yang mengadu nasib di Jakarta, lalu menikah dan beranak pinak di kampung halaman orang.

Tulisan ini mungkin terlahir, setelah kemarin saya merasa cukup terusik dengan penggunaan kata-kata “pribumi” di Facebook, seolah etnis Malayu merupakan pemilik sah negeri ini. Diakui atau tidak, inilah salah satu warisan stigma negatif dari pemerintahan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun, dan masih melekat hingga kini. Meski di sisi lain, tumbuhnya kalangan kelas menengah baru yang memiliki kemampuan intelegensi cukup baik, membuat stigma ini mulai luntur namun belum tuntas.

Ada dua hal yang membuat stigma ini akan tetap ada. Pertama, karena arus trend kehidupan yang berkembang sangat cepat dan pesat, telah meninggalkan beberapa faktor penting yaitu nalar, etiket dan empati. Hal ini merupakan implikasi dari masyarakat yang semakin larut dalam budaya buru-buru, budaya tergesa-gesa.

Kedua, adalah tingkat pendidikan angkatan kerja produktif yang menurut data BPS pada tahun 2015, dimana mayoritas sekitar 70 persen adalah maksimum lulusan SMP. Saya tidak bermaksud mengatakan masalah intelegensi mutlak didapat dari bangku sekolah, tapi yang jelas sangat kuat mempengaruhi. Terlepas masih lemahnya pemerataan sistem pendidikan di negeri ini, namun di bangku pendidikan tinggi kita akan terbiasa dengan suasana wacana, diskusi dan perdebatan.

Dua fakta di atas telah memberikan kontribusi penting dalam lahirnya kelasnya menengah yang memiliki intelektualitas yang justru nrimo (baca: ikut-ikutan saja) atau nyinyir (baca: sinis).

Apa kaitannya? Menurut saya, persoalan diaspora etnis jadi tidak tuntas, mengambang antara selesai dan tidak. Selesai, karena semakin banyak orang tidak peduli dengan perbedaan etnis. Orang-orang seperti ini adalah perwakilan kelas menengah yang lebih fokus dengan upaya mengejar tuntutan kualitas hidup. Di sisi lain menjadi tidak tuntas, khususnya di kalangan politisi, masyakarat kelas bawah dan ekspansi kepentingan berwatak jahat dari luar yang umumnya berkedok agama.

Kalangan politisi banyak yang menggunakan perspektif agama sebagai kendaraan untuk menyerang etnis “Cina” atau Tionghoa. Upaya rasionalisasi kepentingan dikemas dengan retorika yang apik dan ciamik, namun justru mengundang potensi konflik yang tidak perlu dan tidak menguntungkan, selain untuk kepentingan para politisi itu sendiri.

Kalangan masyarakat bawah yang masih menganggap etnis Cina sebagai “musuh” yang menguasai ekonomi, padahal ini menutupi  kelemahan mereka sendiri yang cenderung tidak mempersiapkan diri sejak dini dalam menghadapi pertarungan hidup, sekarang dan ke depan. Ada atau tidak etnis Cina, kalangan masyarakat bawah yang masih suka nyinyir tidak punya keunggulan komparatif, selain kecemburuan. Parahnya, inilah “senjata” yang kerap digunakan para pemangku kepentingan yang lebih tinggi, baik dari kalangan politisi maupun ekspansi kepentingan berwatak jahat berkedok agama, dalam melancarkan serangan.

Salah satu contohnya adalah upaya terorisme di Sarinah, para pelaku adalah representasi lapisan masyarakat kelas bawah. Salah satunya (dari berbagai informasi) adalah sopir angkot “tembak”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun