Era digital pun membedakan gaya wartawan amplop dan jurnalis berkualitas. Wartawan amplop berkecenderungan bebal dalam berkarya, hanya membuat karya yang menyenangkan isi kantong dan pihak yang membayarnya. Era ini sekaligus membuat racun yang dapat membunuh kelangsungan perusahaan, karena potensi income lebih difokuskan untuk kepentingan dirinya sendiri dalam jangka waktu pendek. Padahal perusahaan butuh suntikan pemasukan untuk membiayai kelangsungan hidup, termasuk untuk menggaji wartawan amplop.
Di era digital, jurnalis yang tidak berorientasi amplop pun tidak lantas menghadapi tantangan yang lebih mudah. Mereka harus berebut simpati publik dengan banyak pihak, termasuk dengan para jurnalis berbasis sosial media seperti Justin Bieber, PSY (Gangnam Style) atau Isyana Saraswati.
Di era digital, jurnalis dituntut memiliki kemampuan yang lebih kompleks. Di bidang saya, jurnalis yang handal selain dituntut membuat berita teks dan foto yang disukai, juga harus bisa membuat kata-kata kunci agar artikel yang dibuat lebih mudah ditemukan di mesin pencari Google. Di samping itu harus bisa membuat kata-kata teasing (penggoda) di jejaring sosial media saat melempar link artikel di Twitter, Facebook, Linkedin dan Google+.
Bahkan sebisa mungkin membuat paket kreatif jurnalistik untuk ditawarkan kepada calon klien yang sekaligus menjadi narasumber. Sederhananya, jurnalis sebisa dituntut mengasa dan memiliki jiwa sales (penjual) tanpa mengorbankan idealisme dan nilai presite, agar profesi yang digelutinya bisa menjadi sumber pencarian yang mencerahkan. Jika tidak, maka level degradasinya adalah menjadi wartawan amplop.
Jurnalis di era digital harus bisa menangkap kecenderungan gejala yang berkembang, lalu mengemasnya menjadi sebuah informasi yang berkelas dan disukai. Sebuah tuntutan proses yang tentu tidak mudah.
Initisari
Saya melihat jika media massa ingin bertahan dan terus bertumbuh kembang, maka harus bisa menyerap dan mengkombinasikan poin-poin penting dari jurnalisme sipil yang lebih cair dan horisontal.
Jurnalis dari media massa tidak dapat lagi hanya melihat dan memposisikan dirinya sebagai pemegang transfer informasi yang paling benar, melainkan kini juga harus bisa menjadi pihak yang dapat menjembatani kebutuhan informasi yang dibutuhkan atau diinginkan serta disukai oleh publik.
Ini bukan berarti jurnalis menjadi atau sebagai budak penyedia informasi untuk kebutuhan publik, tapi lebih kepada mitra bahkan sebagai kawan perbincangan.
Profesi jurnalis harus mampu bisa lebih peka untuk menyerap gejala – gejala di masyarakat, kemudian menjadi titian pijaknya untuk mengumpulkan kepingan – kepingan informasi, sebelum merangkumnya menjadi sebuah karya yang dicintai.
Saat karya jurnalistik mereka dapat dianalogikan sebagai rumah atau tempat singgah yang menyenangkan, maka media itu menurut saya dapat dikatakan berhasil.