Risauan amok warga dunia, masih di henyak perilaku kuasa pertiwi. Bukan tentang soal merancang masterplan kesejahteraan, atau pengentasan kemiskinan, mengungkit ruang dan kesempatan bekerja para pengaggur, tetapi justeru didihan kumpul kebo partai-partai yg bahenol dengan kompasnya masing-masing.
Ruang wacana global di tiap media, yang sibuk mengharubiru-mengheboh tentang jatuhnya kuasa-kuasa di negeri timur dan afrika yang otokrat, entah karena soal dedahan demokrasi atau infiltrasi skenario konspirasi para berkepentingan, kalah jauh dari rubrik goyah kebo dan kabinet abu-abu dari demokrasi pertiwi yang tak selesai-selesai.
Pemegang kuasa bersibuk diri menyelamatkan muka, dari noda setitik untuk susunya yang sebelanga. Sibuk memegang kasa mencari, menyelam dan menapis noda-noda kecil tersebut, tanpa perlu mengetahui panjang ttg susunya yang mungkin saja sejak awal telah berbakteri E-Sakazaki yang menakutkan itu.
Telur cecak yg tiba-tiba jatuh dan menjadi noda dari putihnya susu di jadikan pemicu penting bagi hardik yang melampaui. Mempertanyakan kumpul kebo yang berlangsung. Padahal, telur cecak tersebut amat penting bagi sengkarut mafia rezim pajak demi keutuhan dan berlangsungnya rezim.
Tak perlu banyak berkalkulasi narasi kuasa dan menanti rubrik berpemerintahan yang ideal, toh sejak awal hingga mungkin sampai kiamat, kumpul kebo(atau mungkin kumpul cecak yah….heheh) tersebut masih gagal mengawal bangsa. Dedahannya begitu pragmatis: “demi pencitraan”. Maka kanalnya perlu di pertegas.
Tak perlu pula berspekulasi tentang kumpul kebo yang ideal bagi berpemerintahan yang baik.
Toh, rentang berjejal sengkarut Korupsi dan Mafia masih terlentang telanjang di tanah pertiwi. Sengkarut tersebut bersenandung duka bagi wong miskin dan mereka yg tidak untung memiliki kesempatan untuk bekerja di tanah surga ini.
Menjadi penguasa dan memiliki posisi, dlm imaji mereka yang berkehendak adalah ganyang anggaran, kebut memintal modal dan kalau perlu tak kenal kawan dan orang rendahan. Sikat, tendang bahkan bunuh-bunuhan. Itu lah gambaran paling dini yang di tangkap dan di ketahui massa, rakyat dan bangsa pertiwi.
Wacana dan konsep tinggal menjadi alat dan pembuai warga seraya mencitra diri bahwa dia paling merakyat dari pada rakyat itu sendiri.
Maka, tak perlu heran kalangan cendekia mendebat : “Ini kebohongan pemerintah” tidak lama setelah mendendang kehebatan-kehebatan penguasa.
Maka, tidak perlu heran greget keberhasilan-keberhasilan tidak sinambung dengan kenyataan wajah warga yg bopeng dari target-target anggaran kesejahteraan.