Akhirnya Tak bisa aku pungkiri bahwa aku ditakdirkan sebagai seorang pelaut meski pada kenyataan-nya takdir mengantarkanku ke arah yang lain tentu karena suatu alasan, entah itu untuk bertahan hidup atau mempelajari banyak hal.
Sudah hampir 4 Tahun lamanya aku menanggalkan seragam kebanggan batalyon taruna itu, rasa rindu ingin kembali ke masa itu semakin pekat terasa setelah berjumpa dengan teman-teman se-angkatan ku, tak sedikit dari mereka yang sudah sukses mengarungi samudera, namun ada pula yang bernasib sama sepertiku atau mungkin lebih parah, ya inilah kehidupan.
Beberapa bulan ini aku banyak berkomunikasi dengan teman-teman sekelas dulu, tentunya mereka yang berhasil mengarungi lautan, dan mereka memang pengarung yang hebat, berbeda dengan diriku. Terucaplah sebuah pertanyaan dari salah satu dari merekaTidak kah kau ingin merasakan hidup sebagai seorang pelaut ?, Tidak kah kau rindu dengan laut ?ya seperti itulah pertanyaan itu.
Rasa rindu itu memang ada. Semua berawal di ketarunaan, secara tidak langsung di ketarunaan-lah aku menemukan siapa diriku, di masa-masa itulah aku pertama kali mendapatkan masalah besar yang lebih menakutkan daripada PR matematika waktu SD dulu. Disana-lah aku dibentuk menjadi karakter ku saat ini, Disana aku mendapat pembinaan mental yang membuatku siap menghadapi kondisi seperti saat ini, dan semua tak begitu sia-sia bagiku.
Kenapa aku rindu ? Bukankah kita dulu pernah mengikuti tradisi Cinta Laut ? sejak itulah kalian (para senior) membuatku berdiri menghadap ke barat laut di selatan pantai Kota Makassar, menanamkan segala mimpi yang kini belum menjadi nyata, mimpi untuk hidup di laut, sejak saat itu aku jatuh cinta dengan lautan, wajar saja jika aku juga merasa rindu untuk berada disana, Tidur bersama dengan debur ombak yang menghantam lambung kapal, atau menikmati senja di anjungan kapal, menyaksikan lumba-lumba ber-kejaran di haluan kapal, atau mungkin karam bersama kapal yang kalian sebut“Itulah pelaut sejati”. Bagaimana indah bukan ?
Satu hal yang akhirnya baru kusadari. Aku dan lautan adalah Roh yang telah terpisah dari jasad-nya, kini aku memiliki dunia yang berbeda, Aku bekerja dengan gaji yang membuatku masih terjebak siklus, berbeda dengan kalian yang selalu berkecukupan. Aku bekerja selama 8 Jam sehari, tak jarang diriku harus berjalan kaki naik turun medan terjal di kota ini untuk menghemat demi mencukupi satu kebutuhan yang tentu sudah menjadi tanggung jawabku, berbeda dengan kalian yang hanya harus beranjak dari tempat tidur kemudian masuk ke anjungan atau mungkin ke kamar mesin, Bersenang-senang di daratan ketika kalian melempar tros lalu sandar didaratan, menikmati uang yang kalian dapatkan dari menjadi seorang pelaut, Diriku nyaris tak memiliki waktu untuk itu, Terkadang aku harus memanfaatkan seluruh waktu 24 jam itu agar bisa menjadi Rupiah. Masih sangat berbeda dengan kalian yang konon katanya sudah mendapat jaminan sekali Trip ke satu pelabuhan, luar biasa kawan. Wajar saja jika peminat profesi itu meningkat dengan jumlah yang sangat fantastis setiap tahun-nya.
Inilah diriku saat ini, yang selalu menciptakan kebahagiaan dengan sejenak mentertawakan kehidupan, menghibur diri meski jiwa ini terus berteriak, dan aku yakin Tuhan masih setia melindungi dan menolongku disaat-saat dimana aku butuh pertolongan itu bukan secara langsung tapi melalui orang-orang hebat yang ada di sekelilingku. Aku syukuri itu !
Setidak-nya aku bangga pernah melakukan satu hal besar yang tak ternilai harganya, sebuah software simulasi yang kini bukan menjadi milik ku lagi. Dan aku bangga pernah mengenakan seragam yang gagah itu, putih bersih bagai Laksmana muda yang gagah berani.
Jangan ditanya seberapa rindunya aku dengan laut, terakhir kali aku berjumpa dengan-nya adalah ketika di Distrik Navigasi Makassar,dan ternyata itu adalah pertama dan terakhir kali aku merasakan bagaimana rasanya hidup di atas besi terapung bersama sebuah kelompok kecil. Ingin rasanya kembali merasakan itu tapi apalah daya takdir terus berkata lain, mungkin sesuatu masih tersimpan untuk-ku, dan aku optimis akan hal itu, aku tetap berusaha menciptakan kebahagiaan dengan caraku sendiri, dalam keadaan seperti ini, aku dikelilingi orang-orang hebat yang silih berganti memberi motivasi, meyakinkan diri bahwa aku berpotensi, aku bisa, dan aku senang dengan semua itu. Lalu bagaimana dengan kalian para penghuni besi terapung, bahagiakah kalian dengan muntahan solar yang kalian tumpahkan ?
Titip rindu buat laut.
Andi Rahmat Akbar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H