Panic buying, fenomena pembelian massal yang terjadi dalam situasi krisis, telah menjadi sorotan baru-baru ini di beberapa wilayah Malaysia. Kekeringan bendungan dan kesalahan sistem distribusi air di Malaysia menyebabkan panic buying air minum dalam kemasan di beberapa wilayah. Sekitar 1 juta orang di Penang dan Kedah terdampak, dengan penduduk lokal menyerbu supermarket untuk mendapatkan air minum. Meskipun pasokan air pulih dalam waktu singkat, banyak penjual makanan terpaksa tidak buka karena tidak bisa mempersiapkan bahan makanan tanpa air.
Penyebab panic buying ini diduga disebabkan oleh penurunan volume air di beberapa bendungan di Penang yang tidak mendapatkan pasokan air dari Sungai Muda secara optimal. Volume air di bendungan-bendungan seperti Ayer Itam, Teluk Bahang, dan Mengkuang turun drastis. Pemerintah setempat mengimbau warga untuk menghemat air, sementara beberapa ahli menyarankan kenaikan tarif air untuk mengendalikan pemborosan air. Kerusakan pada sensor pintu air juga disebut sebagai penyebab masalah ini, dan otoritas yang berwenang disarankan untuk memeriksa sensor yang rusak atau kemungkinan adanya masalah dalam program pengelolaan air untuk menghindari kejadian serupa di masa depan.
Apa itu panic buying?
Panic buying adalah fenomena pembelian massal yang umumnya terjadi sebelum atau setelah terjadi bencana tertentu, baik itu bencana yang nyata atau hanya diprediksi. Hal ini sering terjadi terkait dengan insiden cuaca ekstrem, seperti badai salju besar yang akan datang atau angin topan. Konsumen takut tidak bisa mendapatkan persediaan yang dibutuhkan, sehingga mereka berbondong-bondong pergi ke toko dan menyimpan persediaan tersebut, membeli produk-produk tertentu dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari biasanya.
Fenomena panic buying sering kali menghasilkan ramalan yang menjadi kenyataan. Konsumen takut akan terjadi kekurangan persediaan, sehingga mereka membeli dalam jumlah besar barang-barang tersebut. Pembelian massal ini kemudian menyebabkan terjadinya kekurangan yang sebenarnya tidak akan terjadi jika tidak ada panic buying.
Panic buying terjadi pada awal pandemi COVID-19 pada tahun 2020 ketika konsumen tiba-tiba mulai membeli dalam jumlah besar barang-barang rumah tangga, seperti tisu toilet, masker pelindung, hand sanitizer, dan peralatan pembersih.
Dalam konteks yang berbeda, panic buying juga kadang-kadang terjadi di pasar keuangan. Ketika harga aset keuangan, seperti saham atau komoditas tertentu, mengalami kenaikan harga yang tajam dan berkelanjutan, banyak investor berlomba-lomba untuk berinvestasi di dalamnya, takut kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
Penyebab panic buying dari sisi psikologi
Menurut Steven Taylor, seorang profesor dan psikolog klinis di University of British Columbia, terdapat perbedaan yang jelas antara persiapan dalam menghadapi bencana dan panic buying. Dalam situasi seperti badai angin atau banjir, orang-orang memiliki gambaran tentang barang-barang yang mungkin mereka butuhkan dalam kondisi darurat, seperti pemadaman listrik atau kekurangan air. Namun, ketidakpastian yang terkait dengan Covid-19 mendorong perilaku panic buying.
Menurut Taylor, panic buying dipicu oleh kecemasan dan keinginan untuk mengatasi ketakutan tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam tindakan seperti mengantri selama berjam-jam atau membeli barang lebih dari yang sebenarnya dibutuhkan. Contohnya dapat dilihat pada krisis rudal Kuba pada tahun 1962, di mana keluarga-keluarga di Amerika Serikat menimbun makanan kalengan dan air botolan untuk menghadapi ancaman perang nuklir yang tampak tak terhindarkan. Fenomena panic buying juga terjadi pada peristiwa Y2K pada pergantian milenium, di mana orang-orang tidak hanya menimbun makanan tahan lama dan air botolan, tetapi juga uang tunai.
Panic buying membantu orang merasa memiliki kendali atas situasi, menurut para ahli. Dalam situasi krisis, orang merasa perlu melakukan tindakan yang sebanding dengan tingkat krisis yang mereka rasakan. Meskipun tindakan sederhana seperti mencuci tangan dan menjaga kebersihan batuk sudah direkomendasikan, bagi banyak orang hal itu terasa terlalu biasa. Oleh karena itu, mereka cenderung mengeluarkan uang dengan harapan melindungi diri mereka.
Ben Oppenheim, direktur senior di perusahaan riset penyakit menular Metabiota yang berbasis di San Francisco, juga setuju dengan pandangan tersebut. Menurutnya, panic buying pada akhirnya adalah mekanisme psikologis untuk mengatasi ketakutan dan ketidakpastian, serta cara untuk menegaskan kendali atas situasi dengan mengambil tindakan. Prinsip penolakan kerugian juga memainkan peran dalam panic buying. Orang cenderung takut melewatkan sesuatu daripada mengalami kerugian. Rasa kecewa muncul jika seseorang menyadari bahwa ia membutuhkan suatu barang namun tidak dapat memperolehnya ketika ada kesempatan.