"Negara Indonesia adalah negara hukum" begitulah bunyi pasal 1 ayat 3 konstitusi kita, UUD 1945. Pasal tersebut memiliki makna bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan bernegara dan berbangsa diatur dengan peraturan atau hukum yang ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia. Hukum tersebut tidak hanya mengatur urusan dalam negeri (internal). Namun juga mengatur hubungan Indonesia dengan negara-negara lain (eksternal).Â
Selain Indonesia, Negeri Paman Sam alias Amerika Serikat juga memiliki konstitusi nya tersendiri, yaitu Constitution of the United States, yang terkenal dengan American Dream-nya, yang kurang lebih menyatakan bahwa "all men are created equal/semua manusia diciptakan sederajat" dengan hak untuk "life, liberty and the pursuit of happiness/"hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan."
Dari kedua contoh tersebut maka terlihat bahwa setiap negara memiliki konstitusi atau hukumnya masing-masing sebagai pedoman atau acuan dalam mengatur kehidupan bernegaranya, baik ke dalam (nasional) ataupun ke luar (internasional). Namun, terlepas dari persamaanya tersebut, ternyata terdapat perbedaan sistem hukum yang dianut antara suatu negara dengan negara lainnya. Indonesia misalnya, menganut sistem hukum kontinental atau yang lebih dikenal dengan sebutan civil law system. Â Sedangkan, Amerika Serikat di sisi lain menggunakan sistem hukum anglo saxon atau yang lebih dikenal dengan common law system. Lantas apa perbedaan diantara kedua sistem hukum tersebut? Dan apakah sistem hukum yang satu lebih baik dari hukum lainnya?
Sistem hukum pertama yang akan dibahas adalah sistem hukum yang digunakan salah satunya oleh Indonesia, yaitu sistem hukum kontinental atau civil law system.  Civil law system merupakan sistem hukum yang memiliki ciri utama melakukan pembagian dasar hukumnya pada dua bagian hukum, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Pembagian ke dalam dua bagian hukum tersebut tidak terdapat dalam common law system. Biasanya negara-negara yang menganut sistem hukum ini merupakan negara bekas jajahan koloni  Prancis, Belanda, Jerman, Spanyol, dan Portugis. Konsep sistem hukum kontinental ini berasalah dari hukum Romawi. Sistem hukum kontinental ini memiliki beberapa ciri atau karakteristik sebagai berikut :
- Terdapat sistem kodifikasi
Seperti disebutkan sebelumnya, civil law system mengambil konsep utama dari sistem hukum Romawi. Romawi sebagai suatu kekaisaran pada saat itu tentu memiliki kepentingan-kepentingan yang mereka harus jaga, termasuk di dalamnya kepentingan politik. Sebagai upaya untuk melindungi semua kepentingan tersebut, maka Kekaisaran Romawi membuat suatu sistem dalam rangka  untuk menyeragamkan suatu hukum, terlepas dari kondisi keberagaman hukum yang ada pada saat itu. Maka, oleh karena itu kekaisaran Romawi membuat suatu kodifikasi hukum yang memuat kebiasaan-kebiasan yang sebelumnya telah ditetapkan menjadi peraturan raja menjadi hukum yang berlaku secara umum.
- Hakim tidak terikat dengan keputusan hakim terdahulu
Dikutip dari Hukumonline, dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System, Nurul Qomar mengutip pendapat Paul Scholten yang mengatakan bahwa maksud pengorganisasian organ-organ negara Belanda tentang adanya pemisahaan antar kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan peradilan dan sistem kasasi serta kekuasaan eksekutif, dan tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya, dengan cara tersebut maka terbentuklah yurisprudensi.
- Sistem peradilan yang dianut merupakan sistem Inkuisitorial
Pada sistem ikuisitorial ini Hakim memiliki peran yang signifikan dalam memutuskan suatu perkara di pengadilan karena dalam sistem ini hakim dituntut untuk berperan aktif dalam mengumpulkan semua fakta hukum yang ada serta jeli dalam melihat suatu kasus. Kapasitas dan karakter hakim menjadi kunci dari sistem ini.
Selanjutnya, kita beralih ke sistem hukum anglo saxon atau yang lebih dikenal dengan common law system. Common law system merupakan sistem hukum yang berlandaskan pada hukum yang tidak tertulis atau tidak terkodifikasi, di mana sumber hukum tersebut berasal dari preseden-preseden atau putusan hakim terdahulu yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Berbeda dengan civil law system, common law system tidak mengenal adanya pembagian hukum perdata dan hukum publik. Negara-negara yang menganut sistem hukum ini pada umumnya merupakan negara jajahan Inggris. Common law system ini berasal dari awal Abad Pertengahan di Pengadilan Raja (Curia Regis) yang merupakan pengadilan kerajaadn tunggal yang didirikan di Westminster. Sistem hukum anglo saxon ini memiliki beberapa ciri atau karakteristik sebagai berikut :
- Sumber hukum utama yang digunakan adalah yurisprudensi
Hal ini berarti keputusan-keputusan hakim yang telah ditetapkan oleh pengadilan merupakan hukum utama yang digunakan dalam common law system. Yurisprudensi menurut Muladi adalah sebuah pedoman aturan khusus yang terbentuk dari berbagai putusan-putusan pengadilan, khususnya Mahkamah Agung atau juga a science of law the forma principles upon which are law are based.
Terdapat dua alasan mengapa yurisprudensi ini digunakan oleh common law system sebagai sumber hukum utamanya. Pertama, alasan psikologis. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap orang yang menjadi hakim akan mencari dasar untuk pembuatan putusannya dari putusan-putusan hakim sebelumnya, dibandingkan apabila ia harus membuat putusannya sendiri. Kedua, alasan praktis. Dengan diberlakukannya yurisprudensi sebagai sumber hukum utama, maka harapannya akan tercipta suatu konsistensi atau kepastian antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lainnya. Di samping kedua alasan tersebut, menurut common law system, hukum yang dibuat lalu kemudian dikodifikasikan dalam suatu undang-undang merupakan sesuatu kegiatan yang berbahaya karena ada kecenderungan bahwa aturan yang tertulis tersebut tidak menggambarkan situasi yang sesungguhnya terjadi. Di samping itu, peraturan yang dikodifikasi tidak akan bisa mengikuti perkembangan kehidupan manusia.
- Stare Decicis atau Preseden merupakan doktrin yang dianut
Dalam doktrin ini dijelaskan bahwa setiap hakim terikat dengan putusan hakim terdahulu  dalam membuat suatu keputusan. Namun, meskipun begitu doktrin tersebut bisa dikesampingkan apabila hakim tersebut bisa membuktikan bahwa fakta-fakta yang terjadi dalam kasus yang tengah ditanganinya tersebut berbeda dengan kasus yang sebelumnya telah diputus.
- Adversary System dalam Proses Peradilan