Mohon tunggu...
purnomo rahmat
purnomo rahmat Mohon Tunggu... -

sedang merintis untuk menjadi orang yang berguna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terperosok di Celah Taring

15 April 2014   13:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu aku terbangun dengan rasa sangat tak nyaman menjalari seluruh badan, dengan posisi tubuh terkapar yang tak beraturan, medan yang kutiduri pun tak rata, bergeronjal keras serta lembab dan bersemak, badanku serasa nyeri semua, kapala pun amat pening seperti berputar-putar, selintas kupikir aku habis mabuk, hawa terasa dingin, kucoba berdiri di pijakan tanah yang jelas miring, kaki kananku perih, sepertinya keram atau mungkin bisa saja patah, kurasakan pundak kiriku pun berasa sama.

“Apa yang terjadi?” pikirku sambil memegangi kening yang sedikit berdebu.

Di sekitarku pepohonan dan semak menghijau mengerubungiku, aku lalu meloncat-loncat dengan kaki kiri karena rekannya yang di sebelah kanan berasa begitu nyeri, kududukkan lagi tubuhku di bawah pohon rindang yang badan besarnya begitu lurus dan tegak.

“Di mana ini?” kuingat-ingat kembali kenapa aku bisa ada di sini, aku masih ingat jati diriku yang hampir sebagian besar, tetapi kenapa aku di sini, apakah aku diculik lalu dibuang di hutan, apakah karena mantan-mantanku yang sakit hati salah satunya berusaha membunuhku, aku kembali menghitung dosa-dosaku pada mereka yang amat banyak, dan tentunya kepada orang-orang lain yang tentu jauh lebih menggunung.

Kutarik napas dalam, kuusap-usap kelopak mataku dengan sisi samping telapak tangan, beberapa saat kucoba gali apapun yang ada di otakku tetapi nihil tak menemukan secuil pun yang membantu, kucoba kembali bangun, dengan kaki kanan yang berjalan berjinjit kutelusuri gundukan dan turunan yang acak, berharap bisa dapat titik terang yang entah apa.

“Sepertinya ini Gunung,” gumamku dengan setengah tak yakin.

Bebunyian ocehan Burung yang bersahutan indah agak menenangkan pikiranku yang sangat kusut, tampak seekor Burung yang sepertinya, Jalak, bertengger di pohon berdaun jarang di sebelah kananku, Sahutan-sahutan Jalak yang lain terdengar di kejauhan yang luas, bergantian bersenandung seperti tengah berbincang dengan bahasa bangsa mereka sendiri.

“Tunggu dulu!” aku menemukan sesuatu yang tiba-tiba melompat dari otakku.

“Ini Gunung Lawu!” aku sangat yakin.

“Aku sudah merencanakan satu minggu yang lalu akan pergi ke sini dengan Doni,” ya Doni mengajakku dan keempat kawannya yang aku lupa namanya untuk mendaki Gunung Lawu.

Otakku makin pening, aku pun lagi-lagi terduduk bersandar di sebuah pohon, yang kali ini dedaunannya bergumul acak memayungiku dan rerumputan yang berbunga di bawahnya, kepalaku bersandar pada pohon seperti terpatri kuat, kupejamkan mata dan kuusahakan aluran napasku berarak rapi hingga bisa menenangkan syaraf yang seperti berdenyut-denyut.

Lalu terdengar sesuatu, sesuatu yang mengerang seperti ketakutan yang menyakitkan, bangkitlah aku untuk mencarinya, mengikuti arah suara yang jelas, tetapi lajuku berkelok-kelok karena berbagai halangan medan yang bermacam-macam, di bawah sebuah pohon yang daunnya rimbun hingga ke bawah suara itu berasal, dari jauh terlihat bayangan seperti Kucing yang kaki depannya terikat tergantung ke atas, sepertinya terkena jebakan pemburu.

Kulihat sekeliling sejenak, dan karena tak tega dengan raungan Kucing Hutan itu.

“KUCING HUTAN!?” ucapku seperti teringat sesuatu.

Aku pun langsung mendekat, kuamati sosok yang meraung pedih di kegelapan itu, aku mengenal sosoknya, di tenda, sewaktu hujan lebat, ya kami membuat tenda di saat gerimis dan beristirahat di waktu sore hingga malam di waktu hujan sudah deras, aku melihat sosok yang sama saat sedang kencing setelah hujan reda, sebuah siluet yang sama persis seperti ini, lalu saat aku mendekatinya untuk memotret makhluk cantik ini, aku terpeleset ke jurang curam karena pijakan batuku yang licin, aku ingat, semuanya jelas sekarang.

“Tenanglah kawan kecil,” ucapku pelan sambil mendekatinya perlahan.

Kupegang sisi badannya yang berasa lebih besar dari Kucing biasa, ia memberontak, lalu aku mendekapnya kuat, perlahan kulonggarkan dekapanku hingga ia semakin tenang dan seperti makin menurut, kutatap matanya yang tengah mendongak ke atas, sungguh makhluk yang amat indah, tak terlihat sisi liar di matanya, tapak kakinya yang mendekap tubuhku pun tidak mencengkeram dan menancapkan cakarnya, ia tampak seperti tanpa naluri pembunuh.

Lalu kulonggarkan ikatan tali yang mengikat kaki kiri depannya dan kemudian kubebaskan ke tanah, ia kembali mendongak sejenak ke arahku, lalu berlalu dengan lenggok langkah yang tak seimbang, seperti belum lihai berjalan, kaki-kakinya berayun seperti rapuh, menyelinap menyingkap dedaunan hingga wujud dan suaranya lenyap ditelan kehijauan.

Kembali kemudian kulanjutkan pencarian, langkahku menanjak, berharap bisa bertemu teman-teman yang mungkin sekarang sedang panik mencariku, atau paling tidak sisa tubuh yang tertinggal untuk dijadikan kenang-kenangan keluarga.

Dengan kaki yang pincang seperti ini, pendakian pendek saja berasa lumayan menyakitkan di lutut, akhirnya setelah sekitar setengah jam melangkah, aku kembali berhenti untuk beristirahat, kupilih Pohon Beringin Seram sebagai tempat bernaung sementara, sambil bersandar di kesejukannya kupijit lututku yang terlihat bengkak dan membiru.

“Tidak akan bakal berhasil kalau seperti ini,” bisikku pada diriku sendiri.

Aku kembali berdiri lalu berkeliling, kucari beberapa benda yang mungkin bisa sedikit membantu, kutemukan ranting-ranting yang relatif lurus, kayu panjang dan tumbuhan rambat kering yang kunilai cukup kuat, kuikatkan tumbuhan rambat kering ke lututku yang kuluruskan dengan memasang ranting-ranting itu sebagai penahan agar tulangku yang patah ini tidak makin lepas, lalu aku berjalan, masih pincang seperti tadi, tetapi gibs sederhana dan tongkat di tangan kananku berasa sangat cukup membantu meringankan perjalanan.

Aku tak tahu ada di mana, semakin lama melangkah, aku semakin disesatkan hutan gunung yang bagai labirin ini, berkali-kali kurasa kembali ke tempat semula, pepohonan dan bebatuan yang selintas mirip membuatku hilang arah dan seperti berputar-putar, akhirnya kucari obyek mencolok yang bisa kujadikan penanda jalan dan coba kuingat baik-baik.

Dan di saat sedang memperhatikan sekitar itulah aku menemukan sesuatu, sesuatu yang sepertinya barang milikku, Kamera, kameraku yang kubawa serta saat aku terperosok ke jurang, benda itu kulihat tersangkut di semak-semak tepat di atas sebuah gundukan tanah berjejer miring yang seperti bertumpukan, daratan yang mirip punuk bumi itu lalu kupanjat perlahan dengan susah payah, di atasnya aku jatuh terduduk karena begitu nyerinya kakiku, kutaruh tongkat penuntunku lalu kuambil Kamera Canon tipe terbaru milikku.

“HH HH HAH!” hmm, sepertinya tempat ini termasuk jalur terperosokku.

Sekali lagi kuperhatikan sekeliling, ada gundukan tanah dan batu yang sangat tinggi di arah Matahari Terbit, sekelilingnya diselimuti semak dan pepohonan yang membuat hanya bagian sisi dinding pipih depan atasnya saja yang terlihat, kupikir mungkin aku bisa melihat dengan pandangan luas dari atas sana, dan mungkin juga aku bisa menemukan jalan atau mungkin rumah warga atau kawan-kawanku yang mungkin tengah melacakku jika menerawang dari atasnya, maka aku pun kembali berjalan dan mendaki kembali.

Aku mendaki bebatuan ini melalui arah belakang yang memang merupakan sisi yang paling minim kecuramannya, sungguh terasa begitu berat menembus hutan yang amat rimbun dengan keadaanku yang seperti ini, dari bawah hingga ke atasnya seluruh tempat ini dipenuhidengan berbagai macam tumbuhan yang merintangi langkah, mulai dari yang berbuah aneh, berjamur, maupun yang berduri-duri tajam, sampai-sampai tanpa terasa, baju, celana, dan kulitku pun menjadi penuh dengan goresan duri.

Tapi beruntunglah aku karena menemukan jalur yang mirip jalan di salah satu ujung dari kubangan yang tergenang sedikit air, semacam lubang di semak-semak yang sepertinya terbentuk secara alami, mungkin aliran air dari genangan yang meluber di saat hujan deras, yang kekuatan aliran airnya mengikis tanah dan tumbuhan-tumbuhan rendah, dan perlahan membengkokkan dahan, akar, dan ranting semak dan pohon-pohon.

Aku pun merangkakinya perlahan lumayan lama, jalurnya sangat licin, lembab, dan berkelok-kelok bagai Ular Sanca yang amat panjang dan meliuk.

Hingga akhirnya setelah merayap selama sekitar sepuluh menit dengan penuh kesabaran, tibalah aku di bagian teratas gundukan ini yang lumayan gundul dan tanpa tanaman di bagian depannya, kembali aku duduk dan lalu menghimpun napas yang sedari tadi seperti menipis, kupijit lembut lutut kananku yang berasa mau lepas sambil mengerang pelan.

Di sini panorama langit biru tampak begitu megah, kuhirup kuat udaranya yang terasa begitu lezat dan seperti tak mau kukeluarkan lagi, lalu tubuhku kuputar dengan menumpu pada pantat kiriku yang berputar pelan bak sumbu gasing, kunikmati sejenak semua sisi lukisan langit yang kebeningannya seperti membunuh sejenak rasa sakit di kaki tangan.

Di sisi kananku kemudian kulihat Pohon Kesemek yang berbuah matang.

“Hmm,” aku menelan ludah, sepertinya dari sore yang lalu aku belum makan apa-apa, perutku yang tadinya tenang sekarang tiba-tiba bergemuruh meminta jatahnya yang telat.

Aku bangkit sejenak dan lalu menjatuhkan satu buah menggunakan tongkat pembantu jalanku, cukup susah sebenarnya meraihnya dengan kondisi kakiku, tetapi nikmatnya hasil unduhan cukup sepadan dengan usaha keras yang harus dilakukan, kulumat Buah Kesemek matang itu sambil duduk di sudut luar batu yang berbatasan langsung dengan angin semilir pegunungan, dengan kedua lututku yang menggantung di dinding atas kulihat panorama hijau di bawah yang tampak amat segar, jernih dan luar biasa indah.

Di sini, aku lupa, lupa akan alasannya kudaki gundukan ini, seperti tanpa sadar aku menolak untuk ditemukan dan berusaha menghindari pekatnya peradaban, aku menerawang ke kehijauan di bawahku, begitu indah dan asri, hal sederhana yang tanpa upaya membuatnya tetapi melebihi hal yang diupayakan ada.

“HAH!?” seketika aku mendelik.

Saat kutatap tepat di bawahku, tepat di bawah dinding gundukan yang tengah kutunggangi, kulihat Kucing Hutan, ya Kucing Hutan yang kutemui tadi, yang menjadi sebab semua peristiwa di hari ini, ia bersama seekor Kucing lain, Kucing yang jauh lebih besar, Kucing yang kuragukan ke Kucing Hutanannya.

HARIMAU!!” ya aku yakin, tapi ini Pulau Jawa, tak ada Harimau di Pulau Jawa.

“MUSTAHIL!?” kuusap-usap kedua kelopak mataku, kupikir mungkin ini halusinasi akibat benturan di kepala, kekurangan cairan, atau mungkin keracunan makanan, tetapi Kucing Besar itu masih di situ, ia menjilati Kucing yang lebih kecil.

“ITU ANAK HARIMAU, BUKAN KUCING HUTAN!” sekali lagi aku sangat yakin.

Harimau di Pulau Jawa setahuku tidak ada, ya aku pernah membaca itu, dulu memang ada Harimau Jawa tetapi sudah punah sejak lama sekali, bahkan sebelum Indonesia merdeka spesies ini memang sudah lenyap tak tersisa dari pulau yang digempur pembangunan ini.

“Ini benar-benar temuan besar,” kuangkat kamera penjelajahku lalu kupotret kedua Harimau yang sepertinya tengah bercanda gurau itu.

Berkali-kali aku memfotonya dengan sambil berjongkok, posisiku langsung menelungkup hingga atas kepalaku saja yang tampak, bidik lensaku aku pertajam ke arah wajah sang induk yang nampak begitu cantik nan indah, hingga begitu lampu kameraku berkedip terang dan berbunyi klik, ia sekejap mendongakkan wajahnya dengan gemulai ke arahku, spontan kutarik kepalaku ke tempat yang tak terlihat, bersembunyi dan lalu mengambil napas lagi.

Lalu perlahan-lahan aku mulai memajukan badanku lagi, aku kembali mengintip untuk membingkai wujud mereka sekali lagi, Si Macan Kecil terlihat menyerudukkan hidungnya ke kaki induknya, sepertinya mengajak bermain, sang induk berlenggak-lenggok lalu menyerudukkan hidungnya ke bawah hingga sang anak terlentang kegelian.

Aku mencoba kembali mengincarkan lensaku, tetapi si induk lalu bergerak menjauh, memasuki tumpukan semak dan pepohonan yang mengelilingi sekitarnya, dan dengan gemulai pula lalu kemudian lenyap melebur ke kehijauan.

Tempat berkumpul mereka tadi sebenarnya tak terlalu rimbun, hanya ada beberapa tumbuhan yang tak terlalu tinggi tumbuh liar dengan acak di area yang relatif terang, sekitarnya saja yang dikepung kehijauan yang pekat bak benteng, mungkin ini adalah sarang mereka, yang dibuat si induk untuk melindungi anaknya dari ancaman hutan yang ganas.

Kini, tertinggal hanya si calon raja rimba yang tampak jelas bergulingan lucu di bawah pandanganku, ia seperti sedang bermain dengan bayangannya sendiri, mancakar-cakar tanah dan rerumputan dan berusaha menelannya, kasihan sekali Si Bocah Macan ini, dia ditinggal dan harus bermain sendirian seperti itu, mungkin kalau dia memiliki saudara akan ada yang dijadikan teman bergulat di sana, padahal Harimau biasanya beranak lebih dari satu setahuku.

“Hmm,” sebagai warga negara yang merasa baik, tentu ini merupakan kebanggaan, untuk berhasil menemukan satu spesies yang jelas sangat bisa dibanggakan bangsa ini, spesies yang konon katanya punah, ternyata kini ada, dan bahkan sedang melakukan proses regenerasinya.

Lalu perlahan dan samar terdengar bunyi bergemeresak dari arah belakangku, kemudian tiba-tiba suara auman dan bunyi Burung-Burung yang menyalak bercacian seperti ketakutan, beterbangan kacau berbagai jenis ke langit tinggi ketika kumenoleh.

Dan kulihat, dari jalur rangkakakanku tadi Sang Macan keluar, ia menatapku tepat di mata, badanku luar biasa gemetar seperti mau terkencing, ia berlari ke arahku, lalu menerkam, kupukulkan tongkatku yang lalu ia gigit dan lemparkan ke belakang ekornya, aku berlari memundurkan tubuhku sambil tersandung-sandung, tersudut di jalan buntu yang serupa jurang yang hijau, ia mengejarku hingga aku terpeleset, LAGI.

Tubuhku bergulung-gulung ke sisi samping gundukan batu yang dipenuhi tanaman semak dan tumbuhan rambat, aku tersangkut berkali-kali dan terus menggelinding tak terkontrol, sementara itu Si Macan terus merangkak turun mengikutiku, aku menendang mengenainya ketika ia mencoba mencakar-cakarku, terus kutendang dengan amat panik dan ketakutan sambil terus merosot menimpa entah berapa semak tinggi yang tumbuh menyamping.

Ia terus memburuku, matanya begitu terasa bernafsu melahapku, tendanganku tertangkap dan lalu kaki kananku digigit.

“AAAKHK!!” gigitannya mengenai gibs kayuku sehingga taringnya belum merobek lutut.

“LEPASKAANN!!!” tubuhku diseret turun dengan entengnya, dan lalu dilempar jatuh ke samping anaknya di bawah.

Badanku gemetaran, kesakitan dan berkeringat dingin, aku merangkak seperti binatang lalu terjatuh kembali, Si Induk Harimau meloncat dan mendarat perlahan di belakangku lalu berjalan pelan mendekat, matanya jelas mengincar leher dan mau mengoyakku, kugunakan semua energi yang tersisa untuk berdiri dan lari sekuatnya.

Di depanku menghadang gundukan tinggi yang tadinya aku tunggangi, di bawahnya ada celah horisontal yang merekah seperti goa yang amat sempit, aku berlari lalu menelentangkan tubuhku hingga terperosok ke dalamnya dengan bagian kaki duluan di depan.

“AKU SELAMAT HAH HAH!!” untuk sementara memang iya.

Harimau itu menghampiri celah dan lalu mencoba meraihku dengan cakarnya yang tampak dekat amat menakutkan, aku merayap menjauh semakin ke dalam, menjauhi taringnya yang ia serudukkan ke lubang yang terlalu sempit untuk semua organ penyerangnya, cakarnya berkali-kali menggores bajuku hingga merindingku sampai mengigil amat parah, seolah merasakan hawa maut yang menusuk hingga ke nyaliku yang terdalam, dingin dan tajam.

Beberapa menit kemudian ia menyerah, dan dengan bahasa tubuh yang kesal ia berjalan menjauh, menghampiri anaknya yang hanya diam saja sedari tadi, tubuhku masih bergetar hingga beberapa jam, aku tak berani mengintip ke luar, bahkan melirik pun aku tak cukup nyali, setelah nafas dan detak jantungku mulai terkontrol, kucoba beranikan diri menengok, sepertinya di luar Matahari sedang terik, mungkin sekarang sudah di puncak siang hari.

Dari dalam kegelapan lubang celah, yang terlihat hanya Si Bocah Harimau, ia melihat tepat ke arahku dengan tenang, mata yang sama dengan Kucing Iblis yang tadi mengejarku, walaupun naluri pembunuhnya jelas masih belum tumbuh, kepalaku mendongak keluar lubang dan lalu mendapati silau yang amat sangat, lalu menoleh ke berbagai arah, mencari mara bahaya yang mungkin menanti sabar.

“Tidak ada,” tak ada jejak Induk Macan itu di semua arahku menerawang

Aku pun merangkak ke luar, berdiri, dan lalu berlari sekencang-kencangnya, Si Bocah Macan hanya menggelengkan lehernya mengikuti langkahku, tubuhnya mesih terkunci sabar, patuh menanti ibunda tersayangnya pulang.

Di depanku telah menghadang benteng semak dan berbagai tanaman yang bergumul suram dan harus kuterobos dengan entah bagaimanapun caranya.

Belum sempat kumengoyak dedaunan di depanku, tiba-tiba muncul suara gemeresak yang sangat aku kenal, rauman pelan berdengung diiringi dedaunan yang bergoyang pelan di depanku, sekali lagi aku merinding, tubuhku kaku, mematung menyaksikan Harimau Gila itu memanjat naik perlahan, bertengger di tengah pohon yang rawan dedaunannya, sambil mengapit dua ekor Kelinci Malang di dalam rahangnya yang berlipstikkan darah segar.

Hasil buruannya ia jatuhkan dan Kucing Betina itu langsung melompat, menerkam ke arahku, aku berguling spontan ke belakang, meronta bagai kejang di tanah, menghindarinya, lalu berlari dengan terpincang-pincang, kemudian meloncat merosot masuk ke liangku lagi, dia menghampiriku, menggaruk-garuk benteng pertahananku sambil meraung-raung kesal.

Aku terpojok di sudut celah yang terujung, seperti terbuang dan amat tak berharga, aspek kemanusiaanku seperti bernilai amat rendah di situasi saat ini, semua ilmu yang kupelajari dari peradaban Manusia yang terwariskan jutaan tahun seperti menjadi tak ada arti, aku menangis, amat ketakutan, begitu mengirisnya kesedihanku hingga Si Harimau tak kuat mendengarnya dan melangkah menjauh.

“Apa aku akan mati di sini?” aku tak tahu, tapi memang harapan hidupku amatlah tipis, cahaya hidupku serupa dengan gulitanya goa ini, begitu kesepian, pasrah, dan tanpa harapan.

Kupukul lantai batu sambil terisak, tapi ia tak bergeming, begitu tak berdayanya kini hingga tak ada yang bisa kutaklukkan, seluruh goa ini seperti meremehkan dan memandangku rendah, si anak kota manja yang berlindung dalam tempurung dan takut melangkah maju.

Aku terlalu lelah, mataku mengatup pelan dan lalu aku tertidur.

Entah apa ada mimpi kala itu, yang kuingat terbangunku di malam langit bergemuruh.

“HELIKOPTER!!” aku terbelalak lalu merangkak cepat menuju bibir celah.

Di dekat lubang kemudian aku terhenti, tampak jelas ada dua pasang mata yang menyala di dalam pekat, di sekitar semak-semak, menatap ke arahku bagai mata iblis yang membara, mata yang berusaha menghipnotisku, mengendalikanku, menekanku di dalam kengerian nan indah, dalam ketakutan kuberanikan diri melihat ke luar, meskipun yang kukeluarkan hanya sebagian kepalaku, mirip Kura-Kura yang menatap ke atas sambil terlentang terbalik.

Di antara cemerlangnya bintang, tampak hasil karya peradaban yang merupakan tunggangan spesiesku, melayang di kejauhan pandang, menyisirkan lampunya ke bawah mencariku, suara berisiknya membuat Burung-Burung yang tidur langsung kabur tercecer ketakutan.

“AKU DI SINIIIIIIII!!!” teriakku.

“TOOLOOOOONG!!!”

“TOLOOOOOOOOOOOOOONG!!” suara pusaran baling-baling tak mampu kusaingi.

Dari kejauhan tatapan menyala itu masih di sana, ia tidak menghindar, jika aku berlari ke luar kecepatan dan ketajaman penglihatannya jelas mampu mengalahkan saudara-saudara satu spesiesku, apakah aku harus bertaruh.

“TOOOOOOLOOOOOOOOOOOONG!!!!”

“TOOLOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOONG!!” aku tak cukup nyali.

Aku hanya berteriak dan berteriak dan berteriak dan berteriak, entah berapa lama, tetapi hingga serak lirih suaraku tim penyelamat tak juga mendengar.

Aku kembali manangis saat Helikopter makin beranjak menjauh, wajah pengecutku kutarik masuk ke dalam celah gelap, persis sekali seperti katak di dalam tempurung, kusesali entah apakah kesempatan hidup ataukah peluang kematian terhormat yang terlewatkan.

Goa ini, entah apalah namanya, sejatinya mungkin tempat bertelurnya Ular atau tempat sembunyi Luwak, aku meringkuk di tempat yang sejatinya bukan ranah tempatku menjamah.

“Aku harus mencari kesempatan,” Manusia itu konon adalah makhluk yang paling adaptif.

Karena kemampuan itulah golongan kami berhasil mendominasi Bumi, karena kemampuan ini juga kami membuat hewan-hewan mengagumkan ini nyaris punah, Mungkin ini adalah keadilan, ditempatkannya aku di sini mungkin untuk mewakili kaumku, untuk mewakili mereka menanggung hukuman atas dosanya mengoyak Bumi, untuk segala pembantaian atas nama peradaban, peradaban yang bagai nisan yang disangga tumpukan taring dan cakar.

Aku terdiam lama dan tak bergerak, terkapar lunglai seperti mayat, nyeri di kaki menjalar ke seluruh tubuh, menjadi perasaan yang bukan lagi nyeri, tetapi seperti demam yang tak sakit tapi sangat tak nyaman, ditambah lagi dengan rasa lapar yang tak bisa kupuaskan, perutku memang tidak meronta atau berbunyi, mungkin bahkan tak cukup tenaga untuk melakukan itu, tetapi jelas sekali kelaparan ini sangatlah nyata, begitu nyatanya sampai-sampai aku sudah tak mampu lagi merasakan rasa laparnya.

Lalu sesuatu berasa menyentuh kakiku, sesuatu itu seperti mengerang pelan dan ingin memanggil-manggil, aku melirik ke bawah dengan lesu dan malas, melihat sosoknya yang hampir serupa sang induk, ia membawa tubuh Ayam Mati dengan rahangnya lalu menaruhnya di bawah kakiku dan kemudian pergi menyingkir.

Naluriku membara kala itu, taring alamiku seperti tiba-tiba tumbuh, kusahut Ayam mentah itu dan lalu kugigit dalam-dalam sedalam-dalamnya, kukoyak dagingnya hingga bulu-bulunya rontok, tulang-tulangnya patah dan membuncahkan sumsumnya yang manis, kuhisap darahnya seperti sari buah, kutenggak dengan rakus seperti meminum air kelapa muda.

Dalam waktu sekejap, yang tersisa hanyalah belulang Si Ayam Malang, lalu aku terlelap.

Aku terbangun lagi tak lama karena diganggu suara bergelegar dan hawa dingin yang menjalari seluruh badan, di luar hujan, hujan yang amat labat dengan kilatan petirnya seperti bergema nyaring di dalam goa, air membanjiri celah sembunyiku hingga aku kelabakan, mulut dan hidungku diterobos air berlumpur hingga alur napasku kacau, aku merangkak ke luar dengan begitu susah payah, memuntahkan semua air sambil terbatuk, dan lalu berlari sekuat tenaga menembus ranting dan semak penghalang.

“Harimaunya tidak ada,” aku terus berlari menuruni gunung hingga terlupa perih di kaki.

Sampai kudengar suara, suara auman yang mengejar, mengejar di belakangku, aku menoleh panik, lalu tersandung, tepeleset di licinnya turunan gunung, LAGI.

Entahlah bagaimana, yang jelas aku terbangun di Rumah Sakit dengan dikelilingi Doni dan kawan-kawan, Si Doni bercerita padaku kalau aku ditemukan orang tua pencari kayu bakar, orang tua itu bilang kalau aku digotong seekor Harimau dan diserahkan padanya katanya.

“HAH!!?” aku pun kaget bukan main.

“Apa bener begitu?” Tanya Doni padaku.

“Kau gila ya, mana ada Harimau di Pulau Jawa” jawabku, santai dan penuh syukur.

TAMAT

Purnomo Basuki Rahmat. Lamongan, 08,02,2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun