Udara pagi yang tetap menggigit kulit, meskipun air di desa ini masih pailit. Hujan memang belum turun di Manislor, tapi kesejukan tetap memeluk para warganya dalam damainya hidup berdampingan dalam perbedaan.
Hari Sabtu tanggal 26 Oktober 2019, para peserta sudah berkumpul di lantai dua Masroor Hall untuk mengikuti kegiatan di hari ke-2 live in "Mengenal Lebih Dekat Komunitas Ahmadiyah". Setelah pada kegiatan sebelumnya, para peserta disuguhi informasi secara global, maka hari ini informasi tentang Ahmadiyah akan dipertajam dalam suguhan talk show. Duduk sebagai narasumber, Bapak Vanis (Dosen IAIN Salatiga), Mln. Ridwan Buton (Dosen Jamiah), dan Tn. Iffat (Raja Pena -- PPMKI).
Baca artikel Sebelumnya: Live in Manislor Bagian Ke-1
Satu persatu pembahasan dikupas dalam berbagai sudut pandang. Dimulai dari pembahasan tentang akidah Ahmadiyah, beberapa video diputar diantaranya untuk memperdengarkan kepada audiens tentang pengucapan kalimat syahadat para ahmadi. Sebuah momen baiat internasional menampilkan khalifah yang mengucapkan kalimat syahadat yang sama dengan yang diucapkan oleh umat muslim di pelosok dunia manapun. Asyhadu alaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh.
Tidak akan terlepas dari akidah, kitab suci Ahmadiyah kembali dikupas dengan tajam pada sesi ini. beberapa audiens mulai melempar pertanyaan tentang metode penerjemahan Alquran yang dilakukan oleh jemaat ini dan sudut pandang tadzkirah di antara para ahmadi. Stigma yang muncul bahwa jemaat ini memiliki kitab suci sendiri, terbantahkan dengan penjelasan mendalam tentang 'Tadzkirah'.
Diskusi makin menukik tajam dengan topik mengenai kewafatan nabi Isa alaihissalaam. Perbedaan pemahanan pada akidah inilah yang selama ini kerap diusung menjadi alasan penyerangan Ahmadiyah, karena jemaat ini meyakini bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, namun hijrah dan meninggal di Kashmir.
Talk show yang berlangsung hingga menjelang zuhur ini, dilanjutkan dengan observasi para peserta ke rumah-rumah para ahmadi di desa ini, untuk mengetahui lebih dalam tentang kekhilafatan, sistem keuangan Ahmadiyah, kiprah Ahmadiyah di masyarakat, dan kaderisasi Ahmadiyah. Hasil observasi ini, dipresentasikan dan kembali didiskusikan pada malam harinya, bakda salat isya.
Antusiasme para peserta yang tak terhingga membuat diskusi berlangsung hingga larut malam. Mereka mengulas tentang pola pengelolaan keuangan di organisasi ini dalam sistem pembayaran candah dan pengorbanan harta lainnya, yang diantaranya dialokasikan kembali untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi masyarakat.
Kiprah Ahmadiyah dalam ranah sosial pun tak kalah langkah dengan organisasi lainnya. Ahmadiyah memiliki komunitas Clean the City, yang rela berjibaku dengan sampah demi membuat kota lebih indah. Ada pula komunitas donor darah, yang juga telah mendigitalisasikan kegiatannya dengan aplikasi 'Give Blood'. Ada pula komunitas donor mata yang beberapa kali menerima penghargaan dari pemerintah karena kiprahnya membantu para resipien kornea mata.
Topik yang tak kalah menarik adalah tentang kaderisasi Ahmadiyah, yang membahas langkah-langkah organisasi ini mempertahankan eksistensinya dan keberlangsungan keturunannya melalui ta'lim, tarbiyat, rishtanata (pernikahan sesama ahmadi), dan waqf-E nou (wakaf anak keturunan ahmadi). Selain itu, ada pula upaya mewakafkan diri dalam sekolah khusus mubaligh, dan dalam kegiatan-kegiatan rohani lainnya.