Di tengah arus perkembangan zaman yang makin tidak karuan, berbagai macam inovasi teknologi terus bermunculan setiap harinya.Â
Kita mungkin sudah dibuat eneg dengan segala pembaharuan yang terjadi, mulai dari kecerdasan buatan, produk smartphone yang makin banyak kameranya, jaringan internet yang makin kencang bandwithnya, dan digitalisasi berbagai keperluan hidup manusia.
Kabar kemajuan zaman yang seperti sekarang ini mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, yaitu zaman saat teknologi menguasai segala urusan kehidupan.Â
Teknologi kini begitu menggurita dan seolah menjadi jantung kedua umat manusia yang jika tanpa kehadirannya eksistensi manusia menjadi hampa dan tak berdaya guna.
Buktinya sejak beberapa tahun lalu teknologi, khususnya internet telah menjadi keseharian baru bagi manusia. Hal tersebut bukan saja berlaku bagi orang dewasa, bahkan anak-anak pun telah banyak membaurkan diri dengan zamannya, yaitu zaman digital.Â
Maka tak heran jika Don Tapscott berani mengatakan bahwa generasi abad 21 adalah manusia digital.
Apa itu manusia digital? Mereka adalah manusia yang meleburkan diri dengan dunia digital. Manusia digital juga beranggapan bahwa internet merupakan oksigen yang menunjang hajat hidupnya.Â
Singkatnya, manusia digital tidak akan bisa bertahan dan bereksistensi dalam zamannya jika menolak bentuk pembaharuan yang ada pada zamannya, utamanya hal-hal berbau digital.
Jagad digital ini kemudian menyeret manusia pada aktivitas yang menyandera mereka untuk terlibat langsung dalam kegiatan yang menggunakan perangkat digital dan internet.
Misalnya saja penggunaan sosial media, bukankah tidak ada kewajiban bagi manusia untuk memiliki akun sosial media? Tetapi mengapa hampir semua orang, khususnya generasi muda memilikinya?
Tren digital yang digambarkan Tapscott kini sudah mulai terbukti. Sayangnya dari tren tersebut terdapat beberapa kekeliruan yang tak sadar sering dilakukan oleh banyak orang.Â
Kita perlu mengingat bahwa dunia saat ini adalah dunia yang tanpa sekat atau borderless world. Perlu kita pahami bersama bahwa kondisi tersebut disatu sisi bisa menguntungkan dan disisi lain bisa merugikan.
Kerugian dunia tanpa batas dalam perspektif digital adalah rawannya pencurian dan penyadapan data. Mengapa bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah karena banyak dari kita yang kurang memiliki kecakapan digital atau literasi digital.Â
Maka tidak heran jika kasus pencurian data menjadi hal yang lumrah terjadi. Akibat minimnya kemampuan literasi digital dengan mudahnya kita mengisi data pribadi pada situs-situs yang tidak terpercaya, semisal nama, alamat, nomor HP, email, dan data pribadi lainnya.
Film asal Jerman, Who Am I besutan Sony Pictures semestinya mampu memperingatkan kita untuk berhati-hati dalam mengisi data pribadi di dalam internet.Â
Kutipan paling fenomenal dalam film ini yaitu "Tidak ada sistem yang aman". Ini berarti bahwa situs yang kita anggap terpercaya dan kredibel pun masih bisa diretas keamanan datanya, apalagi yang abal-abal.
Contoh konkritnya bisa kita lihat dalam kasus pencurian data jutaan pengguna Facebook. Padahal sebelumnya pendirinya yaitu Mark Zuckerberg sempat sesumbar bahwa data pengguna aplikasinya terjamin aman.Â
Namun, buktinya jutaan data bisa dengan mudah dicuri oleh Cambridge Analytica.
Belum lagi saat ini mulai gencar isu mengenai sistem big data dan IoT (Internet of Things). Hal ini memungkinkan bahwa semua data pribadi dari umat manusia yang pernah dan sedang terhubung ke internet akan tersimpan dan terdata secara penuh.Â
Sampai disini mungkin kita perlu bertanya dan berpikir, apakah kalau dunia sudah begini, masih adakah definisi dari rahasia pribadi?
Ya, ini menjadi sesuatu hal yang penting untuk direnungkan. Dunia yang sudah bisa merekam data individu per individu setiap detiknya dalam internet membuat kerahasiaan seolah menjadi kehilangan maknanya.Â
Bayangkan saja jejak digital kita dalam berselancar di internet akan terekam dan masuk ke dalam big data, baik itu aktivitas bersosial media, menggunakan browser, dan bahkan bermain game.
Semua aktivitas tadi akan terekam dalam riwayat sistem big data. Sistem IoT lebih lagi, ia memungkinkan setiap aktivitas fisik kita juga untuk bisa secara kontinyu terdata, misalnya detak jantung dan detak nadi lewat jam tangan pintar, jumlah langkah dan jarak tempuh lewat gawai.Â
Oleh karena itu dunia tanpa batas telah menjadi realita yang sesungguhnya, dan bahkan lebih jauh dari perkiraan yang dibayangkan sebelumnya pula.
Teknologi telah dan akan terus mengubah sistem tatanan sosial dan kepribadian dari manusia. Teknologi kini dan nanti bahkan akan juga pada saatnya melenyapkan salah satu hal yang paling esensial dari manusia yaitu kerahasiaan.Â
Rahasia akan menjadi kata yang pada gilirannya menjadi tanpa makna, karena setiap aktivitas manusia sudah bisa diketahui oleh teknologi.Â
Meminjam istilah Neil Postman, bisa saja hal tersebut menjadi pertanda bahwa manusia telah kalah dan menjadi budak dari teknologi atau yang ia sebut sebagai masyarakat teknopoli.
Di masa depan juga jika perkembangan teknologi masih semasif sekarang, akan muncul teknologi pemeriksa alam pikir, rasa, dan jiwa. Teknologi itu akan mampu mendeteksi hal-hal yang dipikirkan dan sedang dirasakan oleh manusia, seperti marah, sedih, dan senang.Â
Ya, ini sedikitnya mengingatkan kita pada novel 1984 karya Orwell tentang teknologi pembaca pikiran. Sepertinya itu akan segera menjadi kenyataan, patut dinanti dan direnungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H