Kebebasan seharusnya menjadi hal yang mutlak perlu disadari oleh bersama sebagai ruh utama sebuah negara berasas demokrasi. Tentunya kebebasan disini bukan semata-mata bebas bablas. Kebebasan dalam tatanan masyarakat dan kultur multidimensi seperti Indonesia, adalah kebebasan yang berkeadaban.
Kata kebebasan akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan di beragam lini. Mulai media sosial, radio dan televisi, semua kompak membicarakan ihwal kebebasan. Para peneliti, tokoh bangsa, aktivis, akademisi dan mahasiswa kerap menyuarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebabasan.
Apalagi dengan adanya isu pengesahan RKUHP yang menghebohkan itu. Diskursus mengenai kebebasan menjadi lebih kuat lagi arusnya. Hawar ketidaksetujuan datang dari mana-mana dalam menyikapi pengesahan RKUHP. Penolakan yang digaungkan datang atas dasar kekhawatiran terhadap pasal-pasal kontroversial yang ada di dalamnya.
Misalnya mengenai penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara lainnya yang bisa berujung pidana. Keadaan pasal itu seperti membawa kembali nuansa orde baru ke zaman sekarang. Kondisi saat para aktivis zaman orde baru dengan mudah dapat dikriminalisasi dan pada akhirnya dijebloskan ke dalam penjara begitu saja.
Sekarang, suasana seperti dulu, anginnya seperti mulai terasa kembali hadir. Upaya pelemahan terhadap sikap kritis masyarakat agaknya tertuang dalam RKUHP edisi revisi itu.Â
Kita mungkin ingat, sebelum RKUHP ini, UU ITE begitu ganas dalam mengkerdilkan sikap kritis masyarakat. Banyak orang terjerat oleh berbagai pasal dalam UU ITE hanya karena ucapan bernada mengkritik di media sosial.
Sekarang, upaya pelemahan itu sepertinya coba digencarkan lagi dengan adanya RKUHP yang baru. Saya hanya tak bisa membayangkan bagaimana nanti para akademisi, aktivis, dan tentunya masyarakat luas akan begitu ketakutan dalam menyampaikan aspirasinya jika ancaman pidana begitu nyata di pelupuk mata mereka.
Tolak ukur seseorang menyatakan kritik dan menghina terkadang sukar sekali dibedakan. Ada yang mengkritik bernada sarkas dan menghina, ada pula yang satire, tapi dalam beberapa kasus keduanya ditangkap juga.Â
Lalu harus bagaimana cara masyarakat agar bisa mengkritik dengan aman? Belakangan aksi penyampaian aspirasi oleh mahasiswa pun kerap dituding ditunggangi dan tidak relevan.
Ada pula yang beropini tentang kasus kekerasan di papua malah disangka menebar kebencian dan permusuhan. Ya, ujung-ujungnya di bui. Kembali pada kalimat awal pada tulisan ini.Â
Kebebasan yang berkeadaban perlu kiranya dipahami oleh bersama adalah sebagai tugas dari masyarakat dan pemerintah. Keduanya punya peran yang sama sebagai agen kebebasan yang berkeadaban.